Pembelajaran
Sastra Indonesia di SD
Disekolah Dasar, Pembelajaran Sastra
dimaksudkan Untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasikan karya sastra.
Menurut Huck (1987 : 630-623) bahwa pembelajaran sastra di SD harus memberi
pengalaman pada siswa yang akan berkontribusi pada 4 tujuan, yakni :
1. Menumbuhkan kesenangan Pada buku
Salah satu tujuan utama pembelajaran sastra di SD ialah
memberi kesempatan kepada anak untuk memperoleh pengalaman dari bacaan, serta
masuk dan terlibat di dalam suatu buku. Pembelajaran sastra harus membuat anak
merasa senang membaca, membolakbalik buku, dan gemar mencari bacaan.
Salah satu cara terbaik untuk membuat siswa tertarik kepada
buku menurut Huck (1987) ialah memberi siswa lingkungan yang kaya dengan
buku-buku yang baik. Beri mereka waktu untuk membaca atau secara teratur guru
membacakan buku untuk mereka. Perkenalkan mereka pada berbagai ragam bacaan
prosa dan puisi, realisme dan fantasi, fiksi historis dan kontemporer,
tradisional dan modern. Beri mereka waktu untuk membicarakan buku-buku,
menceritakan buku itu satu sama lain dan menginterpretasikannya melalui
berbagai macam aktivitas respons kreatif. Satu hal penting yang juga disarankan
oleh Huck ialah siswa harus diberi kesempatan mengamati atau melihat
orang-orang dewasa menikmati buku. Melalui kegiatan-kegiatan yang menarik
minatnya, siswa akan memperoleh kesenangan.
2. Menginterprestasikan bacaan sastra
Membantu siswa
dalam menginterpretasikan bacaan itu dengan cara mengidentifikasi para pelaku
yang ada pada cerita. Hal itu dapat dilakukan dengan mendramatisasikan (role
play) adegan tertentu yang ada pada buku cerita. Kegiatan dramatisasi
adegan cerita selain menguatkan pemahaman pada cerita juga akan melatih mereka
bersosialisasi (Simpson, 1989). Kelompok anak yang lain kemungkinan menulis
essay. jurnal, atau surat yang berkaitan dengan tokoh utama atau tokoh yang
lainnya yang ada di dalam cerita. Semua aktivitas tersebut akan menambah
interpretasi murid terhadap cerita dan memperdalam tanggapannya pada bacaan.
3. Mengembangkan kesadaran bersastra
Anak-anak yang masih berada di sekolah dasar juga harus
diajak mulai mengembangkan kesadaran pada sastra. Tak dapat dipungkiri bahwa
pemahaman literer meningkatkan kenikmatan anak terhadap bacaan (Huck, 1987).
Ada beberapa anak usia tujuh dan delapan tahun yang sangat senang menemukan
varian yang berbeda mengenai Cinderella, misalnya. Mereka sangat
senang membandingkan berbagai awal dan akhir cerita rakyat dan sangat suka
menulis sendiri kisahnya. Jelasnya kesenangan seperti ini berasal dan
pengetahuan tentang cerita rakyat.
Anak-anak harus pula diarahkan menemukan elemen-elemen
sastra secara berangsur-angsur, karena elemen-elemen itu memberikan bekal bagi
siswa dalam pemahaman makna cerita atau puisi. Dengan demikian guru harus
menguasai pengetahuan tentang bentuk-bentuk cerita, elemen-elemen cerita, dan
pengetahuan tentang pengarang.
Selama siswa berada di sekolah dasar mereka mengembangkan
pemahaman mengenai bentuk sastra yang berasal dari berbagai aliran sedikit demi
sedikit. Mereka sudah dapat membedakan bentuk prosa dan puisi, fiksi dan
nonfiksi, antara realisme dan fantasi, tetapi tidak dengan istilah-istilah
tersebut. Mungkin cara mereka memahami hanya akan bercerita kepada gurunya
bahwa buku Dewi Nawangwulan itu memuat suatu cerita, atau Bawang
Putih itu ceritanya mirip Cinderella yang telah dibacanya. Hal ini
langkah awal yang baik dalam mengembangkan pemahaman tentang bentuk-bentuk
sastra.
4. Mengembangkan apresiasi
Margaret Early (dalam Huck, 1987) menyatakan bahwa terdapat
tiga tahap urutan dan perkembangan yang ada dalam pertumbuhan apresiasi (1)
tahap kenikmatan yang tidak sadar, (2) tahap apresiasi yang masih ragu-ragu
atau berada antara tahap kesatu dan (3) tahap kegembiraan secara sadar. Tahap
pertama sama dengan gagasan menumbuhkan kesenangan terhadap bacaan, sehingga
menjadi terlibat di dalamnya. Pada tahap ini siswa membaca atau guru
membacakannya untuk mendapatkan kesenangan. Mereka jarang menyentuh cara
pengarang menciptakan makna. Pembaca pada tahap kedua tertarik tidak hanya pada
alur cerita. Pembaca pada tahap ini mulai bertanya tentang apa yang terjadi
pada suatu cerita dan mendalami isi cerita untuk mendapatkan makna lebih dalam.
Pembaca menikmati dan mengeksplorasi cerita untuk melihat bagaimana pengarang, penyair,
atau seniman memperkuat makna dengan teks itu. Tahap ketiga, tahap pembaca yang
sudah matang dan menemukan kegembiraan dalam banyak jenis bacaan dan banyak
periode waktu, memberikan penghargaan pada aliran dan pengarangnya, dan
memberikan tanggapan kritis sehingga mendapatkan kegembiraannya secara sadar.
Pengajaran sastra untuk sekolah dasar menurut Huck (1987),
terutama kelas-kelas awal, difokuskan pada tahap pertama yaitu kesenangan yang
tidak disadari (unconscious enjoyment). Jika semua siswa bisa diberi
kesempatan menemukan kesenangan terhadap bacaan, mereka akan bisa membangun
dasar yang kokoh bagi apresiasi sastra. Di awali dari menyenangi karya sastra
yang dibacanya itulah, siswa akan meningkat ke tahap berikutnya. Setelah merasa
senang dengan bacaan baru kemudian siswa didorong untuk menginterpretasikan
makna cerita atau puisi melalui diskusi atau aktivitas kreatif, mereka bisa
memasuki tahap kedua, tahap kesadaran pada apresiasi. Berangkat dari bekal
itulah. siswa dapat diajak untuk memberi tanggapan terhadap buku, membahas
bagaimana perasaan mereka tentang cerita itu dan apa makna cerita itu bagi
mereka. Siswa juga dapat diajak untuk memberi alasan “mengapa” mereka memiliki
perasaan seperti itu dan cara-cara pengarang atau seniman menciptakan perasaan
itu. Para siswa akan memerlukan bimbingan dari guru untuk melalui tahap demi
tahap tersebut, namun bukan mendiktenya atau memberi tafsiran yang harus
diterima begitu saja oleh siswa. Guru hanyalah pemberi jalan setapak untuk
masuk ke dunia indahnya sastra.
Pembelajaran sastra di SD adalah
Pembelajaran sastra anak. Sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus
dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan
anak-anak, yaitu anak yang berusia antara 6-13 tahun. Sifat sastra anak adalah
imajinasi semata, bukan berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat
menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan
alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa.
Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang
dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan.
Jenis
sastra anak meliputi prosa, puisi, dan drama. Jenis prosa dan puisi dalam
sastra anak sangat menonjol. Berdasarkan kehadiran tokoh utamanya, sastra anak
dapat dibedakan atas tiga hal, yaitu :
(1) sastra
anak yang mengetengahkan tokoh utama benda mati,
(2) sastra
anak yang mengetengahkan tokoh utamanya makhluk hidup selain manusia,
(3) sastra
anak yang menghadirkan tokoh utama yang berasal dari manusia itu sendiri.
Seperti pada jenis karya sastra
umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan,
membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan
dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak,
mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan
praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa
bahagia atau senang membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita ketika
dibacakan atau dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin
sehingga menuntun kecerdasan emosinya.
Pemilihan Bahan Sastra untuk siswa SD
Buku
sastra anak-anak tidak dibatasi oleh pengarangnya anak-anak atau orang dewasa,
tetapi lebih ditekankan pada apa yang ditulisnya. Dengan demikian pada saat
orang dewasa atau guru harus memilah-milah mana buku sastra anak-anak dan mana
yang bukan, tolok ukurnya tidak ada kaitannya dengan siapa yang menciptakan,
tapi sepenuhnya terpusat pada muatan isinya. Jadi bekal yang wajib diketahui
bila akan mengevaluasi buku sastra anak-anak adalah seperangkat nilai
ekstrinsik dan intrinsik sastra yang sesuai dengan kemampuan “melihat” dan
“memahami” dunia anak-anak.
Tugas guru dan orang tua dalam memilih
buku sastra anak-anak adalah melakukan penelitian lebih rinci terhadap
unsur-unsur yang lazim ada dalam setiap bacaan cerita (fiksi). Unsur-unsur itu
meliputi:
Alur
Unsur
penting yang tidak dapat diabaikan dalam setiap karya fiksi bagi anak-anak
adalah alur atau plot (Huck, 1987). Biasanya pertanyaan pertama yang diajukan
anak-anak ketika membaca bacaan cerita “Mengapa saya harus membaca buku ini,
apakah buku ini menarik, mengandung cerita yang seru? Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan itu adalah alur atau plot, karena alur biasanya
menceritakan apa yang dilakukan oleh para tokoh cerita dan apa yang terjadi
pada mereka. Alur merupakan benang merah yang menjalin serta merangkaikan susunan
cerita menjadi terpadu satu sama lain dan membuat pembaca penasaran ingin terus
membacanya hingga selesai.
Buku
sastra anak-anak memerlukan alur yang tertata rapi dan apik, dan saling
berkaitan. Alur cerita seperti itu biasanya tumbuh secara logis atau alamiah
yang mengacu kepada tindakan-tindakan dan sejumlah keputusan para tokoh dalam
situasi-situasi yang tersedia berdasarkan konteks peristiwa. Alur cerita buku
sastra anak-anak harus terpercaya dan mengalirkan (bukan tergantung pada)
kejadian dan penemuan sejati. Dengan kata lain, alur cerita itu mesti diupayakan
asli dan segar, dan jangan sampai hambar, basi, melelahkan, membosankan, dan
terlalu mudah ditebak.
Kebanyakan
alur-alur dalam sastra anak-anak disajikan dalam metode kronologis atau cara
linear, karena biasanya murid-murid di kelas awal belum mencapai kematangan
untuk mengikuti alur sorot balik (flashback) dalam waktu dan tempat.
Pengarang menampakkan plot melalui penyajian peristiwa pertama, diikuti oleh
peristiwa kedua. dan seterusnya, sehingga cerita itu menjadi lengkap.
Buku-buku
yang dikarang untuk anak-anak yang lebih besar, usia 10-12 tahun, kadangkadang
menggunakan teknik sorot balik untuk menambah urutan kronologis. Teknik ini,
bila pembaca memiliki beberapa pertanyaan tentang latar belakang seorang tokoh,
atau bingung mengapa tokoh bertindak dalam cara tertentu, maka pengarang
menghentikan urutan cerita dan mengungkapkan informasi tentang saat dan
pengalaman yang lebih awal.
Alur sastra anak-anak sebenarnya bukan
hanya persoalan sorot balik atau linear. Hal yang pokok adalah sejauh mana
struktur alur cerita itu efektif dan jelas sehingga tidak membuat anak-anak
bingung dan tersesat dalam mengikuti alur cerita dari awal hingga akhir.
Latar Cerita
Dalam
bacaan cerita, waktu dan tempat ini disebut latar. Hal itu dapat dicari dengan
bertanya kapan dan di mana kejadian itu berlangsung? Menurut Wellek dan Werren
(1989: 290), latar adalah lingkungan yang dapat dianggap berfungsi sebagai
metonimia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Dalam karya fiksi, latar
bukan hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat suatu
cerita menjadi logis. la juga memiliki fungsi psikologis sehingga latar mampu
menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasanasuasana tertentu
yang menggerakkan aspek kejiwaan pembacanya (Aminuddin, 2001: 67).
Latar
ada tiga macam, yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar suasana (Norton,
1988: 86). Seperti dalam cerita untuk orang dewasa, cerita anak-anak dapat
terjadi pada masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Oleh sebab
itu, plot dan penokohan sebaiknya konsisten dengan apa yang sedang terjadi atau
apa yang telah terjadi pada masa itu. Termasuk ke dalam latar waktu adalah
hari, bulan, tahun, atau periode sejarah, misalnya di zaman perang kemerdekaan,
di saat upacara kenaikan kelas. Latar tempat berkaitan dengan lokasi geografis
peristiwa terjadi. Dalam bacaan cerita anak-anak, jika lokasi geografis dapat
dikenali, sebaiknya lokasi itu disajikan secara akurat. Latar juga memiliki
tujuan yang bukan hanya sekedar memberikan suatu latar belakang, tetapi
menciptakan suasana (mood). Latar suasana adalah suasana atau keadaan
yang mampu memberikan makna tertentu dan mampu menggerakkan emosi pembaca
(Aminuddin,2001:39; Sudjiman, 1988:44).
Latar cerita yang bagus untuk buku
sastra anak-anak adalah memiliki suasana hati yang menggugah kepekaan artistik
anak-anak. Biasanya anak-anak akan hanyut membaca buku sastra bila memiliki
latar cerita yang menggambarkan hal-hal yang menjadi impiannya atau harapannya.
Latar cerita juga sebaiknya mampu meyakinkan anak-anak bahwa tempat dan waktu
kejadian dalam cerita yang dibacanya sangat meyakinkan untuk dipercaya dan
merupakan sesuatu yang baru, yang tak pernah dikenal sebelumnya.
Tema Cerita
Kriteria
ketiga yang penting menjadi pusat perhatian ketika mengevaluasi buku sastra
anak-anak adalah tema. Pertanyaan yang lazim dipergunakan untuk menelusuri tema
adalah, apa maksud pengarang menulis suatu cerita? Yang harus segera diperiksa
dalam tema buku sastra anak-anak adalah, sejauh mana tema cerita itu
berorientasi dan dilandasi oleh nilai-nilai etik yang terpuji secara universal.
Ini penting diperhatikan, mengingat periode psikologis anak-anak yang sedang
menjalani proses pembentukan diri dan identifikasi diri.
Bagaimanapun pentingnya tema, jangan
sampai suatu buku cerita anak-anak hanya didominasi oleh semacam khotbah,
nasihat, atau petuah-petuah verbal yang membosankan. Tema harus larut dalam
alur, latar dan karakteristik tokoh. Berikan anak-anak buku sastra yang
“bercerita”, sehingga nilai-nilai semacam kejujuran, keadilan, demokrasi,
keterbukaan, ketaqwaan, kasih sayang, cinta, diam-diam menyerap kuat pada
kepribadian anak-anak. Tema cerita menyentuh aspek ini. Dan karena tema cerita
itu pula maka sebuah buku sastra menjadi bermakna bagi anak-anak.
Tokoh Cerita
Dalam
mengevaluasi tokoh cerita dalam buku sastra anak diperlukan ketelitian dalam
hal melihat perkembangan perwatakannya. Ada pengarang yang gemar menuturkan
perkembangan watak tokoh cerita melalui gaya narasi. Artinya, perkembangan
watak tokoh cerita digambarkan secara parsial, tanpa melibatkannya dalam alur
dan latar. Gaya seperti ini biasanya kurang menarik minat anak-anak, karena
mereka kurang sabar dalam menghadapi detail. Sedangkan gambaran perkembangan
watak tokoh cerita yang menyatu dengan perkembangan alur dan latar kerap
menjanjikan daya tarik dan memudahkan anakanak untuk memahami sosok tokoh yang
bergerak dalam rentetan cerita yang dibacanya. Dengan kata lain, bagi
anak-anak, jauh lebih mengesankan gerak yang tepat dan singkat daripada
kata-kata yang panjang dan bertele-tele (Tarigan, 1995).
Menurut Charlotte Huck
(1987), kepercayaan kepada tokoh tergantung kepada kemampuan pengarang
mengungkapkan sifat, kekuatan dan kelemahan tokoh itu. Ia menyatakan bahwa hal
ini dapat dilakukan melalui (1) menceritakan tokoh melalui narasi, (2) mencatat
percakapan tokoh dengan tokoh lainnya, (3) mendes-kripsikan pikiran-pikiran
tokoh, dan (4) menyajikan tokoh dalam suatu lakon.
Gaya
(Style) Cerita
Dalam
karya fiksi, gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna
dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin,
2001: 72).
Dengan
demikian diyakini bahwa gaya menulis seorang pengarang tercermin jelas dalam
pilihan dan susunan kata-kata yang diungkapkan ketika menyajikan cerita. Gaya
menulis yang baik harus serasi dengan alur, tema dan tokoh, baik da-lam
penciptaan maupun dalam perefleksian suasana hati cerita (Huck, 1987). Dengan
banyak membaca buku sastra yang beragam gaya ceritanya, diharapkan anak-anak
dapat mengenali dan membedakan gaya bercerita yang khas dari setiap pengarang.
Kemampuan membandingkan ini menjadi indikator bahwa anak-anak dibimbing untuk
berpikir kritis dalam kegiatan membaca buku sastra, sehingga kualitas
apresiasinya semakin meningkat.
Agar
dapat memahami anak-anak ketika mereka mengapresiasi buku sastra, orang dewasa,
orang tua dan guru sebisa mungkin harus berjuang untuk “menganak-anakkan diri”
(Huck, 1987). Hal ini boleh jadi tidak terlalu sukar, karena yang kini sudah
dewasa pun pernah jadi anak-anak. Kita dapat memahami kalau anak-anak tidak
begitu suka (tidak dapat menikmati) suatu cerita yang terlalu bersifat
deskriptif. Mereka cenderung lebih menyenangi perbandingan-perbandingan yang
terjangkau oleh kemampuan pemahaman mereka.
Perlu diperhatikan juga bahwa anak-anak
berada dalam masa pencarian panutan dan sosok idola. Mereka sering merindukan
sesuatu yang berada di luar dirinya, lantas mencoba mengidentifikasi dirinya
dengan sosok idolanya itu. Bila kita berkepentingan untuk mempengaruhi
anak-anak dengan sosok tokoh tertentu, maka pilihlah buku sastra yang memiliki
tokoh menarik dengan gaya bercerita yang memikat.
Sudut Pandang Cerita (Point of view)
Sudut
pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang
dipaparkannya (Aminuddin, 2001: 90) atau menurut istilah Huck (1987) sudut
pandang (point of view) lazim diartikan dari arah mana atau
dalam posisi apa pengarang menempatkan dirinya dalam bercerita. Sebuah kejadian
dapat diuraikan dalam istilah yang berbeda oleh beberapa orang yang memiliki
pengalaman yang sama. Detail yang mereka pilih untuk diuraikan,
perasaan-perasaan yang mereka alami, dan kepercayaan mereka tentang benar atau
salah dapat berubah disebabkan latar belakang, nilai-nilai, dan perspektif
lainnya. Akibatnya, cerita yang sama dapat berubah drastis tergantung pada
sudut pandang seorang pencerita.
Seorang
pengarang memiliki beberapa pilihan ketika memilih sudut pandang. Pertama,
cerita itu dapat diceritakan dari sudut pandang orang pertama, yang
mempengaruhi perkembangan plot, penokohan, dan tema. Kedua, cerita itu diceritakan
dan sudut pandang yang objektif, tindakan-tindakan yang mengungkapkannya. Dalam
hal ini, pengarang menguraikan tindakan, dan pembaca menduga makna dan pikiran
tokoh. Ketiga, cerita diceritakan dari sudut pandang maha tahu. Penulis
menceritakan cerita sebagai orang ketiga, karena menggunakan tokoh “dia” dalam
bertuturnya. Pengarang tidak dibatasi oleh pengetahuan, pengalaman, perasaan
satu orang. Setiap detail perasaan, dan pikiran seluruh tokoh dapat diungkapkan
(Sudjiman, 1988:59).
Sudut
pandang orang ketiga biasanya lebih disukai anak-anak, karena pengarang bisa
leluasa mengeksploitasi apa saja yang menjadi obsesi kepengarangannya.
Sedangkan sudut pandang orang pertama, yang menggunakan tokoh aku, sering
membuat anak-anak kurang puas, karena jangkauan pengarang dalam bercerita
menjadi terbatas (Huck, 1987).
Ilustrasi dan Format Buku
Ilustrasi
adalah gambar-gambar yang menyertai cerita dalam buku sastra anak (Nurgiantoro,
2005:90). Kebanyakan dan buku sastra anak-anak menggunakan ilustrasi untuk daya
tariknya. Buku-buku yang tidak ada ilustrasinya, itu kurang cocok untuk
dijadikan buku bacaan anak-anak. Kehadiran ilustrasi untuk buku anak-anak
menjadi keharusan apalagi untuk anak-anak prasekolah.
Adanya
ilustrasi dalam sastra anak-anak baik gambar maupun foto, sengaja untuk mengkonkretkan
apa yang dikisahkan secara verbal, karena anak dalam tahap perkembangan
oparasinal konkret. Selain itu, ilustrasi dimaksudkan untuk menarik minat
siswa. Oleh karena itu ilustrasi harus jelas, berwarna, komunikatif, hidup dan
ditampilkan secara variatif.
Format buku dalam sastra anak perlu
mendapat perhatian khusus. Anak-anak kelas awal dan prasekolah misalnya, pada
waktu membuka-buka buku diupayakan formatnya cukup besar. Pada waktu guru
membaca nyaring untuk siswanya, sebaiknya menggunakan buku besar (big
book) supaya perhatian siswa tidak terpusat pada gurunya. Dengan demikian,
ukuran buku sastra anak tidak harus baku seperti buku orang dewasa, bisa
divariasikan agar lebih memudahkan siswa lebih komunikatif. Demikian juga
ukuran huruf, ukuran huruf untuk buku anak, bisa lebih besar tidak ukuran
standar untuk buku orang dewasa.
PEMBAGIAN
GENRE SASTRA SASTRA ANAK
A. Hakikat
Sastra Anak
Sastra
berbicara tentang hidup dan kehidupan, tentang berbagai persoalan hidup
manusia, tentang kehidupan di sekitar manusia, tentang kehidupan pada umumnya,
yang semuanya diungkapkan dengan
cara dan bahasa yang khas. Artinya, baik cara pengungkapanannya maupun
bahasa yang dipergunakan untuk mengungkapkan berbagai persoalan hidup,
atau biasa disebut gagasan adalah khas sastra, khas dalam pengertian lain dari
pada yang lain.
B. Genre
Sastra Anak
Sebagaimana halnya
dalam sastar dewasa, sastra anak juga mengenal apa yang disebut genre, maka
pembicaraan tentang genre sastra anak juga perlu dilakukan. Genre dapat
dipahami sebagai suatu tipe kesusastraan yang memiliki perangkat karakteristik
umum ( Lukens, 2003 : 13). Menurut Mitchell (2003 :5-6) genre menunjuk pada
pengertian tipe atau kategori pengelompokan karya sastra yang biasanya
berdasarkan atas stile, bentuk atau isi. Bahwa dalam sebuah genre sastra
terdapat sejumlah elemen yang yang memiliki klesamaan sifat, dan elemen itu
yang menunjukkan perbedaan dengan elemen pada genre yang lain.
Realisme
Realisme dalam sastra dapat dipahami bahwa cerita yang di
ksahkan itu bisa saja ada dan terjadi. Peristiwa dan jalinan peristiwa yang
dikisahkan masuk akal, logis. Cerita mempresentasikan berbagai peristiwa, aksi
dan interaksi, yang seolah-olah memang benar, dan penyelesainnya masuk akal dan
dapat dipercaya. Jadi karakteristik umum cerita realisme adalah narasi
fiksional yang menampilkan tokoh dan karakter yang menarik yang dikemas dalam
latar tempat dan waktu yang dimungkinkan. Ada beberapa cerita yang
dikategorikan ke dalam realisme yaitu : Cerita Realistik, realisme binatang,
realisme historis, dan cerita olahraga
Fiksi
Formula
Genre ini
sengaja disebut sebagai fiksi formula, karena memiliki pola-pola tertentu yang
membedakannya dengan jenis ynag lain. Walau hal itu tidak mengurangi
orisinilitas cerita yang dikreasikan oleh penulis, keadaan itu mau tidak mau
merupakan sesuatu yang bersifat membatasi. Jenis satra anak yang dikategorikan
ke dalam fiksi formula adalah : Cerita misteri dan detektif, cerita romantis,
dan novel serial.
Fantasi
Fantasi dapat dipahami
sebagai “the willing suspension of disbelief ” (Coleridge, via Lukens,
1999 : 20), cerita yang menawarkan sesuatu yang sulit diterima. Fantasi sering
juga disebut sebagai cerita fantasi “Library fantasi” dan perlu dibedakan
dengan cerita rakyat fantasi “folk fantasy” yang tidak pernah siapa penulisnya,
mencoba menghadirkan sebuah dunia lain “Other World” di samping dunia realitas.
Cerita fantasi dikembangkan lewat imajinasi yang lazim dan dapat diterima
sehinggga sebagai sebuah cerita dapat diterima oleh pembaca. Jenis sastra
anak yang dapat dikelompokkan ke dalam fantasi ini adalah : Cerita fantasi,
fantasi tingkat tinggi, dan fiksi sains.
Sastra Tradisional
Istilah
“tradisional” dalam kesusatraan (tradisional literature atau folk
literature) menunjukkan bahwa bentuk itu berasal dari cerita yang ang telah
mentradisi, tidak diketahui kapan mulainya dan siapa penciptanya, dan
dikisahkan secara turun-temurun secara lisan. Berbagai cerita tradisional
tersebut ini telah banyak yang dikumpulkan, dibukukan, dan dipublikasikan
secara tertulis antara lain dimaksudkan agar cerita itu tidak hilang dari masyarakat. Jenis
cerita yang dikelompokkan ke dalam genre ini adalah fable, dongeng rakyat,
mitologi, legenda dan epos.
Puisi
Sebuah bentuk
sastra disebut puisi jika di dalamnya terdapat pendayagunaan berbagi unsur
bahasa untuk mencapai efek keindahan. Bahasa puisi tentulah singkat dan padat,
dengan sedikit kata, tetapi dapat mendialogkan sesuatu yang lebih banyak. Genre
puisi anak dapat berbentuk puisi-puisi lirik tembang-tembang tradisional, lirik
tembang nina bobo, puisi naratif dan puisi personal.
Nonfiksi
Apakah buku nonfiksi
dapat dikategorikan sebagai salah satu genre anak ? Lukens juga mengemukakan sebagian
orang yang bersifat purists. Namun pada kenyataanya terdapat sejumlah
buku bacaan nonfiksi yang ditulis dengan kadar artistik yang tinggi, dengan
memperhitungkan pencapaian efek estetik lewat pemilihan unsur-unsur secara
tepat. Bacaan nonfiksi yang ditulis secara artistik sehingga jika dibaca oleh
anak, anak akan memperoleh pemahaman dan sekaligus senang. Ia akan
membangkitkan pada diri anak perasaan keindahan yang berwujud efek emosional
dan intelektual. Bacaan nonfiksi dapat dikelompokkan ke dalam subgenre buku
informasi dan boigrafi.
Pengembangan
Genre yang diusulkan
Genre
pembagian Lukens di atas cukup rinci. Tapi kesan adanya tumapang tindih tidak
dapat dihindari, dan itu dapat dijadikan salah satu keberatan. Sebuah karya
sastra tertentu dapat dimasukkan ke dalam dua genre yang berbeda dengan
mempergunakan kriteria yang ada. Di bawah ini dikemukakan pembagian genre
sastra anak berdasarkan analogi pembagian jenis sastra dewasa dengan
memanfaatkan pembagian Lukens. Genre sastra anak cukup dibedakan ke dalam :
Fiksi, nonfiksi, puisi, sastra tradisional, dan komik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar