Senin, 04 Januari 2016

Pembelajaran Sastra Indonesia di SD

Pembelajaran Sastra Indonesia di SD

Disekolah Dasar, Pembelajaran Sastra dimaksudkan Untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasikan karya sastra. Menurut Huck (1987 : 630-623) bahwa pembelajaran sastra di SD harus memberi pengalaman pada siswa yang akan berkontribusi pada 4 tujuan, yakni :
1.   Menumbuhkan kesenangan Pada buku
Salah satu tujuan utama pembelajaran sastra di SD ialah memberi kesempatan kepada anak untuk memperoleh pengalaman dari bacaan, serta masuk dan terlibat di dalam suatu buku. Pembelajaran sastra harus membuat anak merasa senang membaca, membolak­balik buku, dan gemar mencari bacaan.
Salah satu cara terbaik untuk membuat siswa tertarik kepada buku menurut Huck (1987) ialah memberi siswa lingkungan yang kaya dengan buku-buku yang baik. Beri mereka waktu untuk membaca atau secara teratur guru membacakan buku untuk mereka. Perkenalkan mereka pada berbagai ragam bacaan prosa dan puisi, realisme dan fantasi, fiksi historis dan kontemporer, tradisional dan modern. Beri mereka waktu untuk membicarakan buku-buku, menceritakan buku itu satu sama lain dan menginterpretasikannya melalui berbagai macam aktivitas respons kreatif. Satu hal penting yang juga disarankan oleh Huck ialah siswa harus diberi kesempatan mengamati atau melihat orang-orang dewasa menikmati buku. Melalui kegiatan-kegiatan yang menarik minatnya, siswa akan memperoleh kesenangan.
2.  Menginterprestasikan bacaan sastra
     Membantu siswa dalam menginterpretasikan bacaan itu dengan cara mengi­dentifikasi para pelaku yang ada pada cerita. Hal itu dapat dilakukan dengan mendra­matisasikan (role play) adegan tertentu yang ada pada buku cerita. Kegiatan dramatisasi adegan cerita selain menguatkan pemahaman pada cerita juga akan melatih mereka bersosialisasi (Simpson, 1989). Kelompok anak yang lain kemungkinan menulis essay. jurnal, atau surat yang berkaitan dengan tokoh utama atau tokoh yang lainnya yang ada di dalam cerita. Semua aktivitas tersebut akan menambah interpretasi murid terhadap cerita dan memperdalam tanggapannya pada bacaan. 
3.   Mengembangkan kesadaran bersastra
Anak-anak yang masih berada di sekolah dasar juga harus diajak mulai mengembangkan kesadaran pada sastra. Tak dapat dipungkiri bahwa pemahaman literer meningkatkan kenikmatan anak terhadap bacaan (Huck, 1987). Ada beberapa anak usia tujuh dan delapan tahun yang sangat senang menemukan varian yang berbeda mengenai Cinderella, misalnya. Mereka sangat senang membandingkan berbagai awal dan akhir cerita rakyat dan sangat suka menulis sendiri kisahnya. Jelasnya kesenangan seperti ini berasal dan pengetahuan tentang cerita rakyat.
Anak-anak harus pula diarahkan menemukan elemen-elemen sastra secara berangsur-­angsur, karena elemen-elemen itu memberikan bekal bagi siswa dalam pemahaman makna cerita atau puisi. Dengan demikian guru harus menguasai pengetahuan tentang bentuk-­bentuk cerita, elemen-elemen cerita, dan pengetahuan tentang pengarang.
Selama siswa berada di sekolah dasar mereka mengembangkan pemahaman mengenai bentuk sastra yang berasal dari berbagai aliran sedikit demi sedikit. Mereka sudah dapat membedakan bentuk prosa dan puisi, fiksi dan nonfiksi, antara realisme dan fantasi, tetapi tidak dengan istilah-istilah tersebut. Mungkin cara mereka memahami hanya akan bercerita kepada gurunya bahwa buku Dewi Nawangwulan itu memuat suatu cerita, atau Bawang Putih itu ceritanya mirip Cinderella yang telah dibacanya. Hal ini langkah awal yang baik dalam mengembangkan pemahaman tentang bentuk-bentuk sastra. 
4.   Mengembangkan apresiasi
Margaret Early (dalam Huck, 1987) menyatakan bahwa terdapat tiga tahap urutan dan perkembangan yang ada dalam pertumbuhan apresiasi (1) tahap kenikmatan yang tidak sadar, (2) tahap apresiasi yang masih ragu-ragu atau berada antara tahap kesatu dan (3) tahap kegembiraan secara sadar. Tahap pertama sama dengan gagasan menumbuhkan kesenangan terhadap bacaan, sehingga menjadi terlibat di dalamnya. Pada tahap ini siswa membaca atau guru membacakannya untuk mendapatkan kesenangan. Mereka jarang menyentuh cara pengarang menciptakan makna. Pembaca pada tahap kedua tertarik tidak hanya pada alur cerita. Pembaca pada tahap ini mulai bertanya tentang apa yang terjadi pada suatu cerita dan mendalami isi cerita untuk mendapatkan makna lebih dalam. Pembaca menikmati dan mengeksplorasi cerita untuk melihat bagaimana pengarang, penyair, atau seniman memperkuat makna dengan teks itu. Tahap ketiga, tahap pembaca yang sudah matang dan menemukan kegembiraan dalam banyak jenis bacaan dan banyak periode waktu, memberikan penghargaan pada aliran dan pengarangnya, dan memberikan tanggapan kritis sehingga mendapatkan kegembiraannya secara sadar.
Pengajaran sastra untuk sekolah dasar menurut Huck (1987), terutama kelas-kelas awal, difokuskan pada tahap pertama yaitu kesenangan yang tidak disadari (unconscious enjoyment). Jika semua siswa bisa diberi kesempatan menemukan kesenangan terhadap bacaan, mereka akan bisa membangun dasar yang kokoh bagi apresiasi sastra. Di awali dari menyenangi karya sastra yang dibacanya itulah, siswa akan meningkat ke tahap berikutnya. Setelah merasa senang dengan bacaan baru kemudian siswa didorong untuk menginterpretasikan makna cerita atau puisi melalui diskusi atau aktivitas kreatif, mereka bisa memasuki tahap kedua, tahap kesadaran pada apresiasi. Berangkat dari bekal itulah. siswa dapat diajak untuk memberi tanggapan terhadap buku, membahas bagaimana perasaan mereka tentang cerita itu dan apa makna cerita itu bagi mereka. Siswa juga dapat diajak untuk memberi alasan “mengapa” mereka memiliki perasaan seperti itu dan cara-cara pengarang atau seniman menciptakan perasaan itu. Para siswa akan memerlukan bimbingan dari guru untuk melalui tahap demi tahap tersebut, namun bukan mendiktenya atau memberi tafsiran yang harus diterima begitu saja oleh siswa. Guru hanyalah pemberi jalan setapak untuk masuk ke dunia indahnya sastra.
Pembelajaran sastra di SD adalah Pembelajaran sastra anak. Sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak yang berusia antara 6-13 tahun. Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan.
Jenis sastra anak meliputi prosa, puisi, dan drama. Jenis prosa dan puisi dalam sastra anak sangat menonjol. Berdasarkan kehadiran tokoh utamanya, sastra anak dapat dibedakan atas tiga hal, yaitu :
(1) sastra anak yang mengetengahkan tokoh utama benda mati,
(2) sastra anak yang mengetengahkan tokoh utamanya makhluk hidup selain manusia,
(3) sastra anak yang menghadirkan tokoh utama yang berasal dari manusia itu sendiri.
Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun kecerdasan emosinya.
Pemilihan Bahan Sastra untuk siswa SD
Buku sastra anak-anak tidak dibatasi oleh pengarangnya anak-anak atau orang dewasa, tetapi lebih ditekankan pada apa yang ditulisnya. Dengan demikian pada saat orang dewasa atau guru harus memilah-milah mana buku sastra anak-anak dan mana yang bukan, tolok ukurnya tidak ada kaitannya dengan siapa yang menciptakan, tapi sepenuhnya terpusat pada muatan isinya. Jadi bekal yang wajib diketahui bila akan mengevaluasi buku sastra anak-anak adalah seperangkat nilai ekstrinsik dan intrinsik sastra yang sesuai dengan kemampuan “melihat” dan “memahami” dunia anak-anak.
Tugas guru dan orang tua dalam memilih buku sastra anak-anak adalah melakukan penelitian lebih rinci terhadap unsur-unsur yang lazim ada dalam setiap bacaan cerita (fiksi). Unsur-unsur itu meliputi:
Alur
Unsur penting yang tidak dapat diabaikan dalam setiap karya fiksi bagi anak-anak adalah alur atau plot (Huck, 1987). Biasanya pertanyaan pertama yang diajukan anak­-anak ketika membaca bacaan cerita “Mengapa saya harus membaca buku ini, apakah buku ini menarik, mengandung cerita yang seru? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah alur atau plot, karena alur biasanya menceritakan apa yang dilakukan oleh para tokoh cerita dan apa yang terjadi pada mereka. Alur merupakan benang merah yang menjalin serta merangkaikan susunan cerita menjadi terpadu satu sama lain dan membuat pembaca penasaran ingin terus membacanya hingga selesai.
Buku sastra anak-anak memerlukan alur yang tertata rapi dan apik, dan saling berkaitan. Alur cerita seperti itu biasanya tumbuh secara logis atau alamiah yang mengacu kepada tindakan-tindakan dan sejumlah keputusan para tokoh dalam situasi-situasi yang tersedia berdasarkan konteks peristiwa. Alur cerita buku sastra anak-anak harus terpercaya dan mengalirkan (bukan tergantung pada) kejadian dan penemuan sejati. Dengan kata lain, alur cerita itu mesti diupayakan asli dan segar, dan jangan sampai hambar, basi, melelahkan, membosankan, dan terlalu mudah ditebak.
Kebanyakan alur-alur dalam sastra anak-anak disajikan dalam metode kronologis atau cara linear, karena biasanya murid-murid di kelas awal belum mencapai kematangan untuk mengikuti alur sorot balik (flashback) dalam waktu dan tempat. Pengarang menampakkan plot melalui penyajian peristiwa pertama, diikuti oleh peristiwa kedua. dan seterusnya, sehingga cerita itu menjadi lengkap.
Buku-buku yang dikarang untuk anak-anak yang lebih besar, usia 10-12 tahun, kadang­kadang menggunakan teknik sorot balik untuk menambah urutan kronologis. Teknik ini, bila pembaca memiliki beberapa pertanyaan tentang latar belakang seorang tokoh, atau bingung mengapa tokoh bertindak dalam cara tertentu, maka pengarang menghentikan urutan cerita dan mengungkapkan informasi tentang saat dan pengalaman yang lebih awal.
Alur sastra anak-anak sebenarnya bukan hanya persoalan sorot balik atau linear. Hal yang pokok adalah sejauh mana struktur alur cerita itu efektif dan jelas sehingga tidak membuat anak-anak bingung dan tersesat dalam mengikuti alur cerita dari awal hingga akhir. 
Latar Cerita
Dalam bacaan cerita, waktu dan tempat ini disebut latar. Hal itu dapat dicari dengan bertanya kapan dan di mana kejadian itu berlangsung? Menurut Wellek dan Werren (1989: 290), latar adalah lingkungan yang dapat dianggap berfungsi sebagai metonimia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Dalam karya fiksi, latar bukan hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat suatu cerita menjadi logis. la juga memiliki fungsi psikologis sehingga latar mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana­suasana tertentu yang menggerakkan aspek kejiwaan pembacanya (Aminuddin, 2001: 67).
Latar ada tiga macam, yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar suasana (Norton, 1988: 86). Seperti dalam cerita untuk orang dewasa, cerita anak-anak dapat terjadi pada masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Oleh sebab itu, plot dan penokohan sebaiknya konsisten dengan apa yang sedang terjadi atau apa yang telah terjadi pada masa itu. Termasuk ke dalam latar waktu adalah hari, bulan, tahun, atau periode sejarah, misalnya di zaman perang kemerdekaan, di saat upacara kenaikan kelas. Latar tempat berkaitan dengan lokasi geografis peristiwa terjadi. Dalam bacaan cerita anak-anak, jika lokasi geografis dapat dikenali, sebaiknya lokasi itu disajikan secara akurat. Latar juga memiliki tujuan yang bukan hanya sekedar memberikan suatu latar belakang, tetapi menciptakan suasana (mood). Latar suasana adalah suasana atau keadaan yang mampu memberikan makna tertentu dan mampu menggerakkan emosi pembaca (Aminuddin,2001:39; Sudjiman, 1988:44).
Latar cerita yang bagus untuk buku sastra anak-anak adalah memiliki suasana hati yang menggugah kepekaan artistik anak-anak. Biasanya anak-anak akan hanyut membaca buku sastra bila memiliki latar cerita yang menggambarkan hal-hal yang menjadi impiannya atau harapannya. Latar cerita juga sebaiknya mampu meyakinkan anak-anak bahwa tempat dan waktu kejadian dalam cerita yang dibacanya sangat meyakinkan untuk dipercaya dan merupakan sesuatu yang baru, yang tak pernah dikenal sebelumnya. 
Tema Cerita
Kriteria ketiga yang penting menjadi pusat perhatian ketika mengevaluasi buku sastra anak-anak adalah tema. Pertanyaan yang lazim dipergunakan untuk menelusuri tema adalah, apa maksud pengarang menulis suatu cerita? Yang harus segera diperiksa dalam tema buku sastra anak-anak adalah, sejauh mana tema cerita itu berorientasi dan dilandasi oleh nilai-nilai etik yang terpuji secara universal. Ini penting diperhatikan, mengingat periode psikologis anak-anak yang sedang menjalani proses pembentukan diri dan identifikasi diri.
Bagaimanapun pentingnya tema, jangan sampai suatu buku cerita anak-anak hanya didominasi oleh semacam khotbah, nasihat, atau petuah-petuah verbal yang membosankan. Tema harus larut dalam alur, latar dan karakteristik tokoh. Berikan anak-anak buku sastra yang “bercerita”, sehingga nilai-nilai semacam kejujuran, keadilan, demokrasi, keterbukaan, ketaqwaan, kasih sayang, cinta, diam-diam menyerap kuat pada kepribadian anak-anak. Tema cerita menyentuh aspek ini. Dan karena tema cerita itu pula maka sebuah buku sastra menjadi bermakna bagi anak-anak.



Tokoh Cerita
Dalam mengevaluasi tokoh cerita dalam buku sastra anak diperlukan ketelitian dalam hal melihat perkembangan perwatakannya. Ada pengarang yang gemar menuturkan perkembangan watak tokoh cerita melalui gaya narasi. Artinya, perkembangan watak tokoh cerita digambarkan secara parsial, tanpa melibatkannya dalam alur dan latar. Gaya seperti ini biasanya kurang menarik minat anak-anak, karena mereka kurang sabar dalam menghadapi detail. Sedangkan gambaran perkembangan watak tokoh cerita yang menyatu dengan perkembangan alur dan latar kerap menjanjikan daya tarik dan memudahkan anak­anak untuk memahami sosok tokoh yang bergerak dalam rentetan cerita yang dibacanya. Dengan kata lain, bagi anak-anak, jauh lebih mengesankan gerak yang tepat dan singkat daripada kata-kata yang panjang dan bertele-tele (Tarigan, 1995).
Menurut Charlotte Huck (1987), kepercayaan kepada tokoh tergantung kepada kemampuan pengarang mengungkapkan sifat, kekuatan dan kelemahan tokoh itu. Ia menyatakan bahwa hal ini dapat dilakukan melalui (1) menceritakan tokoh melalui narasi, (2) mencatat percakapan tokoh dengan tokoh lainnya, (3) mendes-kripsikan pikiran-pikiran tokoh, dan (4) menyajikan tokoh dalam suatu lakon.
Gaya (Style) Cerita
Dalam karya fiksi, gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin, 2001: 72).
Dengan demikian diyakini bahwa gaya menulis seorang pengarang tercermin jelas dalam pilihan dan susunan kata-kata yang diungkapkan ketika menyajikan cerita. Gaya menulis yang baik harus serasi dengan alur, tema dan tokoh, baik da-lam penciptaan maupun dalam perefleksian suasana hati cerita (Huck, 1987). Dengan banyak membaca buku sastra yang beragam gaya ceritanya, diharapkan anak-anak dapat mengenali dan membedakan gaya bercerita yang khas dari setiap pengarang. Kemampuan membandingkan ini menjadi indikator bahwa anak-anak dibimbing untuk berpikir kritis dalam kegiatan membaca buku sastra, sehingga kualitas apresiasinya semakin meningkat.
Agar dapat memahami anak-anak ketika mereka mengapresiasi buku sastra, orang dewasa, orang tua dan guru sebisa mungkin harus berjuang untuk “menganak-anakkan diri” (Huck, 1987). Hal ini boleh jadi tidak terlalu sukar, karena yang kini sudah dewasa pun pernah jadi anak-anak. Kita dapat memahami kalau anak-anak tidak begitu suka (tidak dapat menikmati) suatu cerita yang terlalu bersifat deskriptif. Mereka cenderung lebih menyenangi perbandingan-perbandingan yang terjangkau oleh kemampuan pemahaman mereka.
Perlu diperhatikan juga bahwa anak-anak berada dalam masa pencarian panutan dan sosok idola. Mereka sering merindukan sesuatu yang berada di luar dirinya, lantas mencoba mengidentifikasi dirinya dengan sosok idolanya itu. Bila kita berkepentingan untuk mempengaruhi anak-anak dengan sosok tokoh tertentu, maka pilihlah buku sastra yang memiliki tokoh menarik dengan gaya bercerita yang memikat. 
Sudut Pandang Cerita (Point of view)
Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya (Aminuddin, 2001: 90) atau menurut istilah Huck (1987) sudut pandang (point of view) lazim diartikan dari arah mana atau dalam posisi apa pengarang menempatkan dirinya dalam bercerita. Sebuah kejadian dapat diuraikan dalam istilah yang berbeda oleh beberapa orang yang memiliki pengalaman yang sama. Detail yang mereka pilih untuk diuraikan, perasaan-perasaan yang mereka alami, dan kepercayaan mereka tentang benar atau salah dapat berubah disebabkan latar belakang, nilai-nilai, dan perspektif lainnya. Akibatnya, cerita yang sama dapat berubah drastis tergantung pada sudut pandang seorang pencerita.
Seorang pengarang memiliki beberapa pilihan ketika memilih sudut pandang. Pertama, cerita itu dapat diceritakan dari sudut pandang orang pertama, yang mempengaruhi perkembangan plot, penokohan, dan tema. Kedua, cerita itu diceritakan dan sudut pandang yang objektif, tindakan-tindakan yang mengungkapkannya. Dalam hal ini, pengarang menguraikan tindakan, dan pembaca menduga makna dan pikiran tokoh. Ketiga, cerita diceritakan dari sudut pandang maha tahu. Penulis menceritakan cerita sebagai orang ketiga, karena menggunakan tokoh “dia” dalam bertuturnya. Pengarang tidak dibatasi oleh pengetahuan, pengalaman, perasaan satu orang. Setiap detail perasaan, dan pikiran seluruh tokoh dapat diungkapkan (Sudjiman, 1988:59).
Sudut pandang orang ketiga biasanya lebih disukai anak-anak, karena pengarang bisa leluasa mengeksploitasi apa saja yang menjadi obsesi kepengarangannya. Sedangkan sudut pandang orang pertama, yang menggunakan tokoh aku, sering membuat anak-anak kurang puas, karena jangkauan pengarang dalam bercerita menjadi terbatas (Huck, 1987). 

Ilustrasi dan Format Buku
Ilustrasi adalah gambar-gambar yang menyertai cerita dalam buku sastra anak (Nurgiantoro, 2005:90). Kebanyakan dan buku sastra anak-anak menggunakan ilustrasi untuk daya tariknya. Buku-buku yang tidak ada ilustrasinya, itu kurang cocok untuk dijadikan buku bacaan anak-anak. Kehadiran ilustrasi untuk buku anak-anak menjadi keharusan apalagi untuk anak-anak prasekolah.
Adanya ilustrasi dalam sastra anak-anak baik gambar maupun foto, sengaja untuk mengkonkretkan apa yang dikisahkan secara verbal, karena anak dalam tahap perkembangan oparasinal konkret. Selain itu, ilustrasi dimaksudkan untuk menarik minat siswa. Oleh karena itu ilustrasi harus jelas, berwarna, komunikatif, hidup dan ditampilkan secara variatif.
Format buku dalam sastra anak perlu mendapat perhatian khusus. Anak-anak kelas awal dan prasekolah misalnya, pada waktu membuka-buka buku diupayakan formatnya cukup besar. Pada waktu guru membaca nyaring untuk siswanya, sebaiknya menggunakan buku besar (big book) supaya perhatian siswa tidak terpusat pada gurunya. Dengan demikian, ukuran buku sastra anak tidak harus baku seperti buku orang dewasa, bisa divariasikan agar lebih memudahkan siswa lebih komunikatif. Demikian juga ukuran huruf, ukuran huruf untuk buku anak, bisa lebih besar tidak ukuran standar untuk buku orang dewasa.

PEMBAGIAN GENRE SASTRA SASTRA ANAK

A.   Hakikat Sastra Anak
Sastra berbicara tentang hidup dan kehidupan, tentang berbagai persoalan hidup manusia, tentang kehidupan di sekitar manusia, tentang kehidupan pada umumnya, yang semuanya diungkapkan dengan cara dan bahasa yang khas. Artinya, baik cara pengungkapanannya maupun bahasa yang dipergunakan untuk mengungkapkan berbagai persoalan hidup, atau biasa disebut gagasan adalah khas sastra, khas dalam pengertian lain dari pada yang lain. 
B.   Genre Sastra Anak
Sebagaimana halnya dalam sastar dewasa, sastra anak juga mengenal apa yang disebut genre, maka pembicaraan tentang genre sastra anak juga perlu dilakukan. Genre dapat dipahami sebagai suatu tipe kesusastraan yang memiliki perangkat karakteristik umum ( Lukens, 2003 : 13). Menurut Mitchell (2003 :5-6) genre menunjuk pada pengertian tipe atau kategori pengelompokan karya sastra yang biasanya berdasarkan atas stile, bentuk atau isi. Bahwa dalam sebuah genre sastra terdapat sejumlah elemen yang yang memiliki klesamaan sifat, dan elemen itu yang menunjukkan perbedaan dengan elemen pada genre yang lain.
Realisme
Realisme dalam sastra dapat dipahami bahwa cerita yang di ksahkan itu bisa saja ada dan terjadi. Peristiwa dan jalinan peristiwa yang dikisahkan masuk akal, logis. Cerita mempresentasikan berbagai peristiwa, aksi dan interaksi, yang seolah-olah memang benar, dan penyelesainnya masuk akal dan dapat dipercaya. Jadi karakteristik umum cerita realisme adalah narasi fiksional yang menampilkan tokoh dan karakter yang menarik yang dikemas dalam latar tempat dan waktu yang dimungkinkan. Ada beberapa cerita yang dikategorikan ke dalam realisme yaitu : Cerita Realistik, realisme binatang, realisme historis, dan cerita olahraga
Fiksi Formula
Genre ini sengaja disebut sebagai fiksi formula, karena memiliki pola-pola tertentu yang membedakannya dengan jenis ynag lain. Walau hal itu tidak mengurangi orisinilitas cerita yang dikreasikan oleh penulis, keadaan itu mau tidak mau merupakan sesuatu yang bersifat membatasi. Jenis satra anak yang dikategorikan ke dalam fiksi formula adalah : Cerita misteri dan detektif, cerita romantis, dan novel serial.
Fantasi
Fantasi dapat dipahami sebagai “the willing suspension of disbelief ” (Coleridge, via Lukens, 1999 : 20), cerita yang menawarkan sesuatu yang sulit diterima. Fantasi sering juga disebut sebagai cerita fantasi “Library fantasi”  dan perlu dibedakan dengan cerita rakyat fantasi “folk fantasy” yang tidak pernah siapa penulisnya, mencoba menghadirkan sebuah dunia lain “Other World” di samping dunia realitas. Cerita fantasi dikembangkan lewat imajinasi yang lazim dan dapat diterima sehinggga sebagai sebuah cerita dapat diterima oleh pembaca. Jenis sastra anak yang dapat dikelompokkan ke dalam fantasi ini adalah : Cerita fantasi, fantasi tingkat tinggi, dan fiksi sains. 
Sastra Tradisional
Istilah “tradisional” dalam kesusatraan (tradisional literature atau folk literature) menunjukkan bahwa bentuk itu berasal dari cerita yang ang telah mentradisi, tidak diketahui kapan mulainya dan siapa penciptanya, dan dikisahkan secara turun-temurun secara lisan. Berbagai cerita tradisional tersebut ini telah banyak yang dikumpulkan, dibukukan, dan dipublikasikan secara tertulis antara lain dimaksudkan agar cerita itu tidak hilang dari masyarakat. Jenis cerita yang dikelompokkan ke dalam genre ini adalah fable, dongeng rakyat, mitologi, legenda dan epos.
Puisi
Sebuah bentuk sastra disebut puisi jika di dalamnya terdapat pendayagunaan berbagi unsur bahasa untuk mencapai efek keindahan. Bahasa puisi tentulah singkat dan padat, dengan sedikit kata, tetapi dapat mendialogkan sesuatu yang lebih banyak. Genre puisi anak dapat berbentuk puisi-puisi lirik tembang-tembang tradisional, lirik tembang nina bobo, puisi naratif dan puisi personal.
Nonfiksi
Apakah buku nonfiksi dapat dikategorikan sebagai salah satu genre anak ? Lukens juga mengemukakan sebagian orang yang bersifat purists. Namun pada kenyataanya terdapat sejumlah buku bacaan nonfiksi yang ditulis dengan kadar artistik yang tinggi, dengan memperhitungkan pencapaian efek estetik lewat pemilihan unsur-unsur secara tepat. Bacaan nonfiksi yang ditulis secara artistik sehingga jika dibaca oleh anak, anak akan memperoleh pemahaman dan sekaligus senang. Ia akan membangkitkan pada diri anak perasaan keindahan yang berwujud efek emosional dan intelektual. Bacaan nonfiksi dapat dikelompokkan ke dalam subgenre buku informasi dan boigrafi.
Pengembangan Genre yang diusulkan
Genre pembagian Lukens di atas cukup rinci. Tapi kesan adanya tumapang tindih tidak dapat dihindari, dan itu dapat dijadikan salah satu keberatan. Sebuah karya sastra tertentu dapat dimasukkan ke dalam dua genre yang berbeda dengan mempergunakan kriteria yang ada. Di bawah ini dikemukakan pembagian genre sastra anak berdasarkan analogi pembagian jenis sastra dewasa dengan memanfaatkan pembagian Lukens. Genre sastra anak cukup dibedakan ke dalam : Fiksi, nonfiksi, puisi, sastra tradisional, dan komik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar