Novel
Sejarah
GURU SEJATI HASYIM ASY’ARI
Pendiri pesantren Tebu Ireng yang mengakhiri era kejayaan
Kebo Ireng dan Kebo Kicak
BAGIAN
1
Keheningan
yang Terusik
Cukir
1889
Apa
jadinya jika kesombongan begitu menguasai para petinggi negeri ? Arogansi para penguasa
itu membuat mereka mengabaikan hak-hak rakyat begitu saja; rakyat dianggap
seakadar batu pijakan. Penguasa hanya melihat rakyat tak ubahnya seperti
pohon-pohon yang bisa kapan saja ditebang dan dirobohkan.
Situasi
yang penuh kesombongan inilah yang menjadikan salah satu pemicu pergolakan di
Pabrik Gula Cukir di awal pembangunannya. Penguasa pabrik gula yang
difasilitasi pemerintah Belanda bertindak sewenang-wenang, begitu mudah
mengesampingkan kepentingan masyarakat setempat yang tadinya memiliki lahan-;ahan
pertanian. Tanah-tanah rakyat disulap menjadi lokasi pabrik, dan sawah-sawah
diubah menjadi perkebunan tebu tanpa diganti rugi dan penghargaan yang setimpal
kepada petani.
Revolusi
industri yang berkembang dikawasan Cukir berangsur-angsur membawa perubahan
dalam kehidupan sosial masyarakat sekitarnya. Dampak negatif yang menyertai
proses pembangunan industri gula semakin jelas terlihat ketka dipinggir lokasi
pabrik lahir berbagai tempat hiburan dan pelacuran yang dilegalkan oleh
pemerintah Belanda.
Bunyi
peluit melengking mengejutkanku. Semaikn lama semakin keras. Getaran tanah
ditambah suara mesin lokomotif yang datang dari utara; peluit terdengar seperti
rintihan binatang terluka. Mataku segera diarahkan kesumber suara. Seekor
branjangan terkejut, lalu terbang meninggalkan sarangnya disemak-semak. Aku
sedikit kerepotan ketika dua sapi yang sedang kumandikan ketakutan dan
melompat-lompat ingin lepas dari ikatan.
“Hush....! Hush...! teriakku menenangkan mereka sambil menahan tali
kekang dari ramai. Bunyi mesin yang menggelegar, peluit dan tanah yang bergetar
pagi itu mengoyak keheningan di Cukir pada awal April 1889.
Hanya
dalam hitungan detik, sumber kegaduhan itu muncul dari balik semak-semak
tinggi. Kereta api yang gagah menampakkan diri, merayap menghampiriku. Aku
terpesona melihat tubuhnya yang semakin dekat semakin besar.kulihat kereta api
itu mengurangi kecepatan. “Agaknya menuju Pabrik Cukir,” pikirku.
Tidak
seperti biasanya, baru pagi ini ada kereta api yang melintas dan memasuki
kawasan Pabrik Cukir yang mulai dibangun pada tahun 1884 itu. Biasanya kereta
terus melaju kearah Kediri dan hanya singgah sebentar di Stasiun Cukir. Aku
merasa beruntung bisa melihatnya dari jarak yang sangat dekat.
“Untuk
apa kereta api datang ke pabrik sepagi ini?” pikirku. Sepertinya bukan kereta
barang yang biasa membawa bahan bangunan. Kulihat kali ini lokomotif menarik
gerbong-gerbong penumpang.
Mataku
mengikuti kereta api itu hingga berhenti sama sekali. Tidak lama kemudian, dari
rangkaian gerbong-gerbongnya, turunlah kurang lebih lima belas orang dengan
postur tinggi besar, berkulit putih serta berpakaian serba putih. Sebagian
besar dari mereka bertopi laken yang juga berwarna putih. Orang-orang penting,
pikirku. Mereka turun satu persatu dari gerbong masing-masing sambil menebar
senyum saat menginjakkan kaki dihalaman Pabrik Cukir.
Pabrik
ini adalah salah satu proyek besar pemerintah Belanda di Jawa Timur dalam
mewujudkan ambisi menjadi “Raja Gula”. Untuk menguasai perdagangan gula dunia.
Wilayah Jombang memiliki kontur tanah yang datar dan luas, selain itu ada dua
sungai besar, berantas dan konto, yang mengapit wilayah Jombang sehingga
menjadikan lokasi ini dipilih oleh pemerintah belanda, termasuk Cukir.
Suiker Pabric bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia artinya pabrik Cukir.
Namun karena lidah masyarakat Jawa kesulitan mengucapkan kosa-kata Belanda,
mereka menyederhanakannya menjadi Cukir pabrik. Akhirnya “Pabrik Cukir” bisa
diucapkan untuk menyebut Suiker Pabric, dan bahkan menjadi nama desa dimana pabrik
itu dibangun. Pada awalnya hal ini mengundang senyum beberapa orang Belanda,
tetapi semakin lama mereka maklum dan penyebutan itu menjadi hal yang biasa,
bahkan merekapun ikut-ikutan menyebut Pabrik Cukir sebagai nama dan identitas
baru untuk proyek pembangunan pabrik gula. Bagi Belanda itu tidak masalah yang
penting maksud dan tujuan mereka tercapai.
Setelah
semua penumpang berada dihalaman pabrik mereka tidak langsung memasuki gedung,
melainkan berbincang sejenak dengan beberapa mandor yang berada disana.
Kemudian kulihat rombongan tamu terhormat itu diajak berkelilng oleh sang administrateur pabrik, Tuan Blok, yang
belakangan dilanjutkan dengan meninjau beberapa ruangan dalam pabrik yang mulai
berdiri megah. Telunjuk salah satu diantara mereka menuding-nuding beberapa
sudut bangunan dan sesekali memanggil mandor proyek untuk dimintai penjelasan,
atau barang kali diberi perintah. Tidak begitu jelas apa yang diucapkannya
karena aku hanya melihat dari jarak jauh.
Sambil
menyeret kedua sapiku, aku melangkah perlahan di tepi Sungai Konto, terus
memperhatikan. Ketika posisiku sejajar dengan gerbang pabrik, aku melihat
beberapa orang pribumi sedang menyiapkan sesuatu untuk acara hiburan. Sebuah
panggung rendah didirikan didekat gerbang. Tahulah aku kini, hiruk-pikuk yang
terjadi pagi ini adalah persiapan pesta giling yang mengundang tamu-tamu
istimewa dan hanya untuk pekerja pabrik saja, orang luar dilarang keras masuk
pabrik. Aku memang sudah mendengar kabar angin tentang pergelaran pesta giling,
berupa hiburan seni tayub dan wayang semalam suntuk. Baru kali ini pesta giling
dihelat besar-besaran disini.
Aku
masih melangkah pelan untuk mencari lokasi strategis, berdiri agak tersembunyi
dibalik kedua sapiku, dan memata-matai.
“jadi,
mereka menginspeksi pabrik?” tanya Saridin petang itu. Kami berdiri
dipekaranganku, mengamati keramaian yang sedang berlangsung di Pabrik Cukir
yang hanya berjarak dua ratus meter dari rumahku.
Saridin
adalah sahabatku yang tinggal di Dusun Nglaban, yang juga salah satu orang
kepercayaanku. Dialah yang biasanya menyampaikan berita-berita hangat yang
didapatnya dari pasar dan orang-orang desa padaku. Namun belakangan ini aku
merasa dia lebih banyak membawa berita buruk ketimbang berita menyenangkan.
“Ya,”
jawabku. “Tapi tidak lama, karena acara buka giling dimulai sebelum jam makan
siang tadi.”
“Hm,”
guman Saridin. “Makde sempat lihat?”
“Oh,
ya,” kataku sambil mengelus dagu. “Ada arak-arakan patung manten Loro Blonyo,
untuk wadal persembahan diisi darah sapi, yang kemudian digiling. Wiro yang
memimpin upacara itu.”
Wiro
adalah dukun desa, yang diangkat sebagai dukun kepercayaan oleh administrateur Pabrik Cukir.
Ketangkasan Wiro dalam membaca keinginan pemerintah Hindia-Belanda membuatnya
berhasil meraih kedudukan penting dalam lingkaran pabrik gula.
Saridin
menganguk-angguk. “Belanda memang cerdas memilih orang.”
“Dan
kau tahu perempuan yang sering digunjingkan itu?” tanyaku. “Sartini? Dia yang
memimpin kelompok penari tayub.”
Saridin
tertawa kering. “Dimana ada Wiro, disitu ada Sartini.”
Aku
mendengar perempuan itu dibicarakan dipasar bahkan dibilik rumahku, saat
orang-orang datang untuk kuobati karena digigit ular atau binatang berbisa
lain. Dari orang-orang itulah aku sering mendengarcerita tentang Sartini, namun
baru tadi pagi aku melihat perempuan itu dari dekat. Seperti kata orang,
perempuan itu memang cantik menawan.
Samar-samar
terdengar alunan gamelan wayang yang mengalun tertiup angin timur dari dalam
Pabrik Cukir. Aku dan Saridin menatap kesana, setengah menerawang, menyesali
apa yang terjadi pada desa kami yang tadinya tentram. Demi meraih ambisi
sebagai penguasa gula dunia, Belanda tidak main-main dengan persiapannya ketika
mendirikan Pbrik Cukir. Dari beberapa orang yang bekerja di pabrik, aku
mendengar bahwa fasilitas yang berdiri di lahan seluas lima puluh hektar lebih
ini dibangun dengan peralatan paling modern dan lengkap, karena hasil
produksinya diharapkan menjadi penyumbang gula pasir terbaik dengan sakala
besar di dunia. Insinyur-insinyur pelaksanaannya membangun dengan perhitungan
dan perencanaan yang matang. Rancangan bangunan pabrik terintegrasi sangat
rapih, infrastrukturnya pun diperhitungkan dengan cermat. Ada emplacement tebu atau terminal lori
untuk menampung batang-batang tebu sebelum masuk mesin penggiling; gedung-gedung
besar yang tertata rapi berjajar menaungi mesin itu yang selanjutnya tersambung
dengan jajaran ketel penanak sari tebu, masuk ke stasiun pemurnian,
penggodokan, pemutaran dan akhirnya gula yang sudah masuk karung dikirim ke
gudang-gudang dan siap diedarkan.
Sarana
pengangkutan bahan baku untuk pabrik gula ini sebagian besar menggunakan lori
yang setiap hari hilir mudik mengangkut tebu dari lahan bekas sawah yang
luasnya berhektar-hektar, yang merupakan tulang punggung Pabrik Cukir.
Perubahan fungsi lahan sawah menjadi kebun tebu adalah hal vital untuk mencapai
tujuan pemerinah Belanda. Orang-orang kulit putih itu sama sekali tidak peduli
bahwa perbuatan mereka mengakibatkan hilangnya lahan yang menjadi hak rakyat.
Demi program pemerintah Belanda, orang-orang pribumi harus merelakan tanah yang
selama ini menjadi sandaran hidup keluarga.
Seusai
perang di Ponegoro yang membawa kebangkrutan bagi VOC, pemerintah yang diwakili
Engelbertus de Waal memberlakukan undang-undang Agraria 1870 (Agrarische Weet 1870)
dan undang-undang gula 1870 (Suiker Weet 1870). Lahirnya undang-undang ini
memberi kesempatan kepada swasta (asing Eropa) membuka usaha perkebunan di Oost
Indie atau Hindia Belanda, memberi peluang kepada modal asing untuk menyewa
tanah untuk Hindia Belanda dan membuka kesempatan kerja kepada penduduk
menjadi buruh perkebunan.
Pabrik
memiliki perusahaan Belanda yang bernama NV. KOLDY EN COSTER VAN HOUSF SUIKER
FABRIC ini tidak hanya andal membangun sarana Pabrik Cukir, dengan dibantu
aparat keamanan Belanda, mereka bahkan membuat perencanaan dan perhitungan
matang dalam merekrut pekerja pabrik yang dipilih sesuai kehendak dan kebutuhan
mereka. Secara bergelombang para pekerja pabrik itu didatangkan dari berbagai
daerah, termasuk dari negeri Belanda. Mulai dari sinder tebang, masinis pabrik,
dokter gula, pekerja besali
(bengkel), menjaga gudang, hingga satuan pengaman; semua dipilih dan diatur
oleh administrateur pabrik.
Khusus
untuk satuan pengaman, Belanda memiliki politik kotor dengan cara mengangkat
para preman dan mantan preman dari Cukir dan sekitarnya. Satuan pengaman yang
kuata menjadi faktor penting bagi kesuksesan dan keamanan pabrik. Mereka
dicetak menjadi orang-orang yang loyal dan kejam, bahkan kepada sesama bangsa
sendiri. Sampah masyarakat itu di bina dengan pendidikan dan bimbingan khusus
agar menjadi kepanjangan tangan aparat Belanda, yang akan tunduk dan
melaksanakan kehendak mereka. Cara berpikir orang-orang binaan itu pun dibuat
menjadi tidak sehat; dari yang seharusnya lebih peduli terhadap tanah tumpah
darah, kini justru menghianati bangsa sendiri. Pangkat dan kedudukan telah
membuat mereka silau.
Perkembangan
tempat hiburan di utara Pabrik Cukir berjalan begitu pesat, laksana penyakit
menular yang lekas menyebar, tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Setiap malam
di ramaikan hiruk-pikuk para pencari hiburan dan pemuas nafsu birahi.
Masyarakat sekitar menjadi rasah, namun tidak berani melakukan apa-apa karena
kekejaman aparat Belanda dan kaki tangan mereka membungkam protes penduduk.
Namun tidak begitu halnya bagi
Surontanu, sosok santri senior dari Pesantren Sumoyono, yang berani menentang
berdirinya lokasi pelacur di utara pabrik secara terang-terangan. Jiwa
laki-laki sejatinya merasa terpanggil untuk menjadi tokoh utama sekaligus pemimpin
masyarakat yang menolak keras berdirinya tempat hiburan maksiat. Bagi Surontanu
yang setiap harinya sibuk dengan kegiatan belajar dan mengajar di pesantren,
berdirinya pabrik gula dan komplek pelacuran yang di dukung Belanda adalah
kejahatan yang semena-mena. Timbul niat di hatinya untuk melawan.
Niat itu menguat setelah melihat
keangkuhan aparat keamanan dan mandor-mandor pabrik yang sering melakukan
tindakan sewenang-wenang terhadap penduduk asli. Begitu juga dengan sikap dan
perilaku tidak terpuji Belanda dan para begundalnya yang semakin hari dirasakan
semakin menjijikan dan membakar emosi. Surontanu dan kawan-kawannya menilai
bahwa pembangunan pabrik menjadi biang keladi, tidak bermanfaat bagi warga
sekitar, bahkan secara pasti membawa dampak kemerosotan moral bagi penduduk
desa yang diseret jatuh ke jurang maksiat dan khurofat.
Keresahan tergambar dari ucapannya ketika dia dan lima
santrinya datang menemuiku, tepat pada saat aku sedang berdiri setelah
memperhatikan hiruk-pikuk di Pabrik Cukir.
“ Assalamu’alaikum ! ”
Salam itu mengejutkanku. Aku tidak tahu
bagaimana kyai muda yang satu ini tiba-tiba sudah berada di depanku.
“ Wa’alaikum salam, Pak kyai,” jawabku
sambil menutupi rasa kaget.
“ Kemarin Makde tidak ikut bergabung di
acara peresmian pabrik?”
“ Ah enggak. Lha wong tidak di undang, itu kan acara khusus mereka. Haram
hukumnya kita mendatangi acara dimana kita tidak di undang,”
Kemudian tanganku menunjuk ke arah pohon
beringin lima belas langkah di sebelah kananku. Rombongan tamuku itu tanggap
bahwa aku mempersilakan mereka ke tempat yang lebih nyaman untuk kusambut. Kami
pun beriringan melangkah ke tempat yang lebih rindang di bawah pohon beringin
di barat Sungai Konto.
Sejenak sepi menghinggap. Angin berdesir
mengiringi langkah para tamu yang sengaja datang membawa berita yang entah baik
atau buruk. Tetapi paling tidak setengah dari pertanyaan sudah terjawab dengan
datangnya sang kyai muda dari Pondok Pesantren Sumoyono ini. Dan ini bukanlah
yang pertama kali.
Tidak sulit bagiku untuk menebak. Kyai
satu ini sengaja dating untuk membicarakan penolakannya terhadap pembangunan
pabrik. Mungkin karena kedudukanku sebagai salah seorang yang di tuakan
masyarakat sekitar desa ini. Atau bisa juga karena adanya keseganan para
centeng Belanda atau orang-orang Joko Tulus dan Wiro terhadapku.
Basa-basi ringan yang mengawali
percakapan kami tidak berlangsung lama. Setelah itu Surontanu mulai menumpahkan
curahan hati tentang ketidak setujuannya terhadap pembangunan Pabrik Cukir.
“ Revolusi industri ini menimbulkan
dampak negative, Makde,” katanya memulai . “Rakyat sudah kehilangan lahan
mereka, ditambah lagi dengan pendatang-pendatang yang merebut pekerjaan. Makde
lihat saja sudah berapa luas sawah milik Kyai Sumoyono dirampas Belanda untuk
di jadikan lokasi pabrik. Tapi yang paing berbahaya adalah munculnya tempat
hiburan dan pelacuran, karena kehilangan akhlak dan moral jauh lebih buruk
daripada kehilangan harta atau sawah.”
Aku mengangguk-angguk setuju.
“ Pemerintah Belanda memanfaatkan
undang-undang baru untuk memerah tenaga dan kekayaan rakyat,” lanju Surontanu.
“Mereka hanya mengumbar kebohongan dengan mengatakan system ini bakal
menghapuskan cultuurstelsel . Tapi apa yang terjadi? Makde lihat
sendiri, rakyat harus menyerahkan lahan mereka, secara paksa, dengan dalil
sewabah !”
“Aku tahu,” kataku, berusaha
menyebarkannya dengan suaraku yang rendah dan tenang. Namun kya muda itu sedang
emosi.
“Belum lagi masalah perekrutan preman,”
sambung Surontanu.
“Ya, benar sekali, Makde,” sahut salah
satu santrinya. “Ini masalah serius.”
“perekrutan preman-preman ini hanyalah
alat politik untuk mengadu domba sesama
pribumi,” lanjut Surontanu. “Supaya tak ada yang menghalangi rencana
Belanda mendirikan pabrik. Mereka diberi kebebasan untuk menangkap siapa saja
yang tidak disukai Belanda, bahkan dibiarkan membunuh ! Budaya jaga baya ini meluas, Makde, bukan hanya
untuk mengamankan pabrik gula, tapi juga mengamankan daerah maksiat.”
“Aku bisa melihat sendiri, Kyai,”
kataku. “Dan mereka inilah yang hendak kalian lawan?”
“Saya tidak takut pada mereka, Makde,”
kata Surontanu. “Mereka Cuma orang-orang yang merasa seperti jagoan, mencari
uang cepat dan mudah.”
“Meski demikian,” kataku, “mereka tetap
harus diperhitungkan. Kalian tahu sendiri siapa yang memimpin mereka.” Aku
berhenti sejenak karena Surontanu mendengus keras. “Wiro.” Lanjutku sambil
mengguncang-guncang jari telunjuk, “dia mampu mengambil hati Belanda.
Masyarakat yang belum kenal agama sangat memercayainya. Kalian tahu sendiri,
setiap kali ada yang sakit, atau hendak mengawali masa tanam, mereka
bergantungg pada dukun itu. Wiro dan Belanda sengaja mempertontonkan upacara
pengusiran makhluk halus dan sebagaainya di pabrik, agar penduduk semakin
percaya pada omongan kosong si dukun. Penduduk bakal takut untuk melawan. Aku
sendiri tidak yakin Belanda percaya tahayul, itu Cuma strategi mereka untuk
mengambil hati penduduk. Maka, menurutku, hal pertama yang harus dilakukan
adalah mengupayakan agar masyarakat berpaling dari kepercayaan syirik itu.”
“Butuh waktu terlalu lama untuk
melakukan itu, Makde,” bantah salah satu santrinya Surontanu.
“Benar,” kata Surontanu. “kita tidak
punya banyak waktu. Semakin hari semakin banyak pendatang, dan semakin ramai
pula pusat hiburan maksiat. Baru kemarin saya lihat ada rombongan penari
kentrung datang untuk menetap. Ditambah lagi gadis-gadis muda belia yang
ternyata di perjual belikan untuk melacur. Sampai kapan kita hendak membiarkan
keadaan seperti ini ? semakin rusak moral rakyat, semakin mudah di peralat dan
dicocok hidung oleh Belanda.”
Tentu saja aku sangat memahami
keresahannya. Tetapi ada beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan. Di satu
sisi, apa yang di katakana Surontanu ada benarnya, namun disisi lain bagaimana
cara mematahkan rencana awal Belanda membangun pabrik? Pertimbangan kedua
inilah yang menurutku nyaris mustahil, mengingat kami akan berhadapan dengan
kekuatan yang sangat besar.
Aku kenal Surontanu, dia bertabiat
keras. Tindakannya sering kali bersinggungan dengan pihak lain yang tidak
sepaham. Sikapnya yang kereas menolak praktik perdukunan dan segala ritual
tradisional lainnya oleh sebagian masyarakat dianggap tidak santun dalam
menyiarkan kebenaran. Penampilan dan caranya yang blak-blakan menyebabkan rasa
kurang simpati diantara sebagian masyarakat. Mereka menilai Surontanu kurang ‘njawani’
dan terlalu keras kepala. Sikapnya cenderung memaksa kehendak. Dengan wataknya
yang keras, dia ingin selalu mendominasi setiap masalah atau persoalan yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Karena cara bergaul dan sikapnya yang
keras dalam berdakwah itulah maka upaya berjuang menolak pembangunan pabrik
tidak lantas diikuti dan didukung orang banyak. Dia lupa bahwa untuk mencapai tujuan, dia perlu merangkul penduduk
desa agar mendukungnya. Aku pernah mengingatkannya beberapa waktu yang lalu.
Tapi agaknya saranku itu tidak begitu dipedulikannya. Karena sikap dan wataknya
yang demikian keras dan kaku, masyarakat Cukir dan sekitarnya menjulukinya
sebagai ‘ menungso ndas macan’ atau manusia berkepala harimau.
Sebagian masyarakat memandang sinis niat
Surontanu. Mereka menilai asa muatan dendam dalam tindaknnya karena kawan
seperguruannya yang sekaligus murid kesayangan Kyai Sumoyono sekarang telah
murtad dan bergabung dengan kelompok Wiro dan Joyo Rumpon. Dia adalah Joko
Tulus yang dikenal sakti dan memiliki wibawa kuat. Menurut kabar terakhir,
laki-laki itu ditasbihkan sebagai pemimpin gerombolan bergundal di Kebo Ireng.
Belakangan Joko Tulus menyulap kawasan Kebo Ireng yang beranjak sangat dekat
dari Pesantren Sumoyono menajdi daerah industry pelacuran yang berkembang dan
ramai dalam waktu yang amat singkat. Kelakuannya membuat malu Surontanu dan
keluarga besar pondok pesantrennya.
“Jadi sebenarnya siapa yang hendak
kalian lawan?” tanyaku. “Pemerintah Belanda atau Joko Tulus? Apa yang hendak
kalian lakukan agar orang tidak meragukan motivasi kalian?”
Surontanu terdiam sejenak, kelima
santrinya saling berpandangan. Aku tahu pertanyaanku telak mengenai sasaran.
“Karena pabrik itulah maka berdiri
kawasan maksiat, Makde,” akhirnya Surontanu menjawab. “Keduanya tidak bisa
dipisahkan. Motivasi kami jelas. Saya tidak peduli siapa yang membangun lokasi
peacuran, saya hanya ingin daerah itu dibubarkan. Dengan cara apapun dan
bagaimana pun risikonya, termasuk jika saya harus berhadapan dengan bedil atau
penjara pemerintah Belanda. Untuk itu, pembangunan pabrik harus dihentikan
lebih dahulu. Dengan dalil amar ma’ruf
nahi mungkar, maka kami menganggap ini sebagai jihad fiisabilillah untuk memerangi kemungkaran dan kemaksiatan.”
Aku bersimpati dengan keprihatinan
Surontanu dan keresahannya membuatku ingin membantunya. Tetapi cara yang akan
ditempuhnya tidak sesuai dengan hati kecilku, karena seingatku, berdasarkan
pengalaman, belum ada contoh sukses perjuangan yang dilakukan dengan cara-cara
kekerasan untuk menolak atau melawan sesuatau yang tidak kita sukai.
“Aku sependapat denganmu, Kyai
Surontanu,” kucoba lagi membujuknya, “tapi apakah itu cara satu-satunya untuk
menghentikan kegiatan maksiat di desa kita ini?”
“Menurut saya itulah jalan terbaik,
Makde! Belanda tidak bisa diajak berunding untuk menyelamatkan akhlak, mental
dan moral bangsa kita,” katanya berapi-api.
“Aku tahu. Tapi kekuatan mereka sangat
besar, apalagi dibantu orang-orang kita yang berkhianat.”
“Itulah sebabnya kita harus bersatu
untuk menghadapi mereka!” Dada Surontanu naik turun menahan emosi. “Orang-orang
yang berkhianat itu juga harus kita lenyapkan dari muka bumi!”
“Kau betul. Kita memang harus bersatu,
tapi aku melihat persatuan yang kau bangun baru sebatas raganya saja.”
Surontanu terdim sejenak sebelum
berkata, “Maksud Makde?”
“Kau juga harus membangun jiwanya. Bukan
hanya raga! Galang persatuan dan kesatuan masyarakat desa ini. Ambil hati
mereka. Berikan pemahaman bahwa kegiatan maksiat tidak baik bagi kita, di dunia
maupun akhirat!”
“Tanpa saya berikan pemahaman seperti
itu pun mereka semestinya sudah tahu, Makde!” Surontanu mengendus.
“Kau tidak bisa menyamaratakan seperti
tiu. Tidak semua orang mempunyai kemampuan berpikir yang sama. Tadi sudah
kukatakan bahwa mereka masih saja percaya omongan Wiro.”
Sang kyai muda menggeleng-geleng. “waktu
sudah mendesak. Belanda sudah merusak moral kita terlalu lama.”
“Kau terlalu buru-buru membuat rencana
untuk melaksanakan niatmu yang sebenarnya sangat mulia itu. Hanya saja….”
“Apakah Makde mau bergabung dengan
kami?” potongnya sedikit mendesak.
“Aku tidak mau menyesuaikan irama dengan
cara kerjamu yang buru-buru. Aku
khawatir nanti akan mengecewakanmu.” Dengan cara yang sangat halus aku
menolaknya, tetapi dengan setengah memaksa Surontanu tetap mendesakku ikut
terlibat dengan gerakan yang sudah direncanakannya.
“Tidak semudah itu. Perang bukanlah
satu-satunya jalan keluar. Butuh persiapan matang, tidak bisa grasa-grusu tanpa perhitungan,” ucapku
setengah berbisik. Aku khawatir angin yang
bertiup siang ini mengantarkan suaraku kepada orang-orang yang tidak menyukaiku
atau Surontanu.
Laki-laki yang sedang terbakar amarah di
depanku itu terdiam. Seakan menunggu ucapan apa lagi yang akan kusampaikan
kepadanya. Tiba-tiba aing bertiup kencang di atas kami. Sebutir buah beringin
jatuh tepat di depan Surontanu. Laki-laki itu memungutnya lalu memutar-mutar
buah itu diantara dua jemari.
“Sebelum melakukan hal yang menurutku
sangat serius, apaka kalian sudah punya strategi terbaik? Bagaimana dengan
dukungan masyarakat dan pasukan yang akan diterjunkan? Bagaimana dengan
logistik? Kalau Cuma modal semangat,rasanya tidak cukup.”
Tiga orang santri di sebelah Surontanu
beringsut agar lebih dekat denganku. Tampaknya mereka mulai tertarik dengan ucapanku
sehingga ingin mendengar lebih jelas lagi. Pinggangku terasa pegal. Aku harus
menggeser dudukku dua jengkal ke kiri untuk mencari permukaan akar beringin
yang lebih rata. Sementara Surontanu diam terpaku, menatap air yang bening
mengalir tenang di Sungai Konto. Namun wajahnya masih tampak kusut. Sesekali
matanya melirik buah beringin yang masih saja di putar-putar di ujung jarinya.
“Kisah Perang Diponegoro yang masih
hangat dalam ingatan bisa menjadi sebuah contoh yang dapat kita ambil
pelajarannya. Perjuangan itu mengingatkan kita bahwa gerakan yang hanya
mengandalkan kekerasan pasti mengalami kegagalan. Pengalaman sudah
membuktikan,” ucapku kembali mengingatkan bahwa cara kekerasan yang akan
dipakai Surontanu menghadapi pembangunan pabrik gula bukanlah jalan terbaik.
Seorang tokoh berkharisma kuat dalam
meraih simpati dan fanatisme seperti Pangeran Diponegoro pun ternyata tidak
cukup. Walaupun seluruh masyarakat Jawa dari segala lapisan bahu-membahu
mendukung perang yang di kobarkan oleh junjungan mereka,perlawanan Pangeran
Diponegoro hanya berumur lima tahu, yaitu pada puncaknya yang berlangsung tahun
1825 sampai 1830.
“Jadi, mohon maaf. Aku tidak bisa
terlibat dalam hal yang kalian sebut sebagai amar ma’ruf nahi mungkar itu.
Aku punya jalan dan pemikiran sendiri
untuk membuat desa ini menjadi lebih baik.” Bagiku apa yang kusampaikan
sudah cukup jelas. Kalimat terakhirku ini membuat wajah Surontanu memerah.
Kulihat jari telunjuk dan tengahnya memencet buah beringin hingga hancur
berair.
Tidak lama setelah ucapanku berakhir,
rombongan tamuku langsung berdiri. Surontanu diikuti lima anak buahnya,
beranjak dari tempat duduk masing-masing, bersiap untuk pamit meninggalkan
pertemuan.
“Kalau begitu, sikap kita jelas berbeda.
Saya menghargai sikap Panjenengan, namun niat saya tetep teguh. Saya akan berjuang demi li’ilah likalimatillah . Mohon restunya. Assalamu’alaikum,” ujar
Surontanu tanpa menunggu jawaban. Secepatnya dia bersalaman dan mencium
tanganku, setelah itu pergi menuju selatan.
Setelah pertemuan itu aku sudah bisa
menduga peristiwa apa yang bakal kudengar sehubungan dengan pernyataan dan
keputusan Surontanu beberapa saat yang lalu. Hari-hari ke depan sudah dapat
dibayangkan; bakal terjadi gerilya Surontanu yang bisa saja berupa terror, kekacauan,
atau huru-hara di sekitar pabrikgula. Aku tidak tahu.
Gerakan Surontanu merupakan salah satu
wujud protes yang mewakili rakyat kecil, akibat sesuatu yang mengusik, baik
kenyamanan dalam kehidupan atau pelanggaran atas nilai-nilai keagamaan. Namun
kekuatan yang dihadapi Surontanu sangat besar. Apalagi yang dihadapi adalah
penguasa yang selalu merasa benar dan tidak pernah menganggap adanya kehidupan
yang lain di luar kepentingan mereka sendiri.
“Ahh... Andai saja Surontanu mampu
mengambil hati dan merangkul masyarakat desa terlebih dahulu, pasti dia bisa
menjadi penghalang yang sangat berbahaya bagi Belanda.” Aku bangkit dari akar
beringin besar yang menjadi tempat dudukku. Kulangkahkan kaki perlahan sambil
kuinget kembali semua percakapan dengan Surontanu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar