Senin, 04 Januari 2016

Novel Sejarah GURU SEJATI HASYIM ASY’ARI (BAGIAN 1)

Novel Sejarah
GURU SEJATI HASYIM ASY’ARI

Pendiri pesantren Tebu Ireng yang mengakhiri era kejayaan Kebo Ireng dan Kebo Kicak

BAGIAN 1
Keheningan yang Terusik
Cukir 1889

Apa jadinya jika kesombongan begitu menguasai para petinggi negeri ? Arogansi para penguasa itu membuat mereka mengabaikan hak-hak rakyat begitu saja; rakyat dianggap seakadar batu pijakan. Penguasa hanya melihat rakyat tak ubahnya seperti pohon-pohon yang bisa kapan saja ditebang dan dirobohkan.
Situasi yang penuh kesombongan inilah yang menjadikan salah satu pemicu pergolakan di Pabrik Gula Cukir di awal pembangunannya. Penguasa pabrik gula yang difasilitasi pemerintah Belanda bertindak sewenang-wenang, begitu mudah mengesampingkan kepentingan masyarakat setempat yang tadinya memiliki lahan-;ahan pertanian. Tanah-tanah rakyat disulap menjadi lokasi pabrik, dan sawah-sawah diubah menjadi perkebunan tebu tanpa diganti rugi dan penghargaan yang setimpal kepada petani.
Revolusi industri yang berkembang dikawasan Cukir berangsur-angsur membawa perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat sekitarnya. Dampak negatif yang menyertai proses pembangunan industri gula semakin jelas terlihat ketka dipinggir lokasi pabrik lahir berbagai tempat hiburan dan pelacuran yang dilegalkan oleh pemerintah Belanda.
Bunyi peluit melengking mengejutkanku. Semaikn lama semakin keras. Getaran tanah ditambah suara mesin lokomotif yang datang dari utara; peluit terdengar seperti rintihan binatang terluka. Mataku segera diarahkan kesumber suara. Seekor branjangan terkejut, lalu terbang meninggalkan sarangnya disemak-semak. Aku sedikit kerepotan ketika dua sapi yang sedang kumandikan ketakutan dan melompat-lompat ingin lepas dari ikatan.  “Hush....! Hush...! teriakku menenangkan mereka sambil menahan tali kekang dari ramai. Bunyi mesin yang menggelegar, peluit dan tanah yang bergetar pagi itu mengoyak keheningan di Cukir pada awal April 1889.
Hanya dalam hitungan detik, sumber kegaduhan itu muncul dari balik semak-semak tinggi. Kereta api yang gagah menampakkan diri, merayap menghampiriku. Aku terpesona melihat tubuhnya yang semakin dekat semakin besar.kulihat kereta api itu mengurangi kecepatan. “Agaknya menuju Pabrik Cukir,” pikirku.
Tidak seperti biasanya, baru pagi ini ada kereta api yang melintas dan memasuki kawasan Pabrik Cukir yang mulai dibangun pada tahun 1884 itu. Biasanya kereta terus melaju kearah Kediri dan hanya singgah sebentar di Stasiun Cukir. Aku merasa beruntung bisa melihatnya dari jarak yang sangat dekat.
“Untuk apa kereta api datang ke pabrik sepagi ini?” pikirku. Sepertinya bukan kereta barang yang biasa membawa bahan bangunan. Kulihat kali ini lokomotif menarik gerbong-gerbong penumpang.
Mataku mengikuti kereta api itu hingga berhenti sama sekali. Tidak lama kemudian, dari rangkaian gerbong-gerbongnya, turunlah kurang lebih lima belas orang dengan postur tinggi besar, berkulit putih serta berpakaian serba putih. Sebagian besar dari mereka bertopi laken yang juga berwarna putih. Orang-orang penting, pikirku. Mereka turun satu persatu dari gerbong masing-masing sambil menebar senyum saat menginjakkan kaki dihalaman Pabrik Cukir.
Pabrik ini adalah salah satu proyek besar pemerintah Belanda di Jawa Timur dalam mewujudkan ambisi menjadi “Raja Gula”. Untuk menguasai perdagangan gula dunia. Wilayah Jombang memiliki kontur tanah yang datar dan luas, selain itu ada dua sungai besar, berantas dan konto, yang mengapit wilayah Jombang sehingga menjadikan lokasi ini dipilih oleh pemerintah belanda, termasuk Cukir.
Suiker Pabric bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia artinya pabrik Cukir. Namun karena lidah masyarakat Jawa kesulitan mengucapkan kosa-kata Belanda, mereka menyederhanakannya menjadi Cukir pabrik. Akhirnya “Pabrik Cukir” bisa diucapkan untuk menyebut Suiker Pabric, dan bahkan menjadi nama desa dimana pabrik itu dibangun. Pada awalnya hal ini mengundang senyum beberapa orang Belanda, tetapi semakin lama mereka maklum dan penyebutan itu menjadi hal yang biasa, bahkan merekapun ikut-ikutan menyebut Pabrik Cukir sebagai nama dan identitas baru untuk proyek pembangunan pabrik gula. Bagi Belanda itu tidak masalah yang penting maksud dan tujuan mereka tercapai.
Setelah semua penumpang berada dihalaman pabrik mereka tidak langsung memasuki gedung, melainkan berbincang sejenak dengan beberapa mandor yang berada disana. Kemudian kulihat rombongan tamu terhormat itu diajak berkelilng oleh sang administrateur pabrik, Tuan Blok, yang belakangan dilanjutkan dengan meninjau beberapa ruangan dalam pabrik yang mulai berdiri megah. Telunjuk salah satu diantara mereka menuding-nuding beberapa sudut bangunan dan sesekali memanggil mandor proyek untuk dimintai penjelasan, atau barang kali diberi perintah. Tidak begitu jelas apa yang diucapkannya karena aku hanya melihat dari jarak jauh.
Sambil menyeret kedua sapiku, aku melangkah perlahan di tepi Sungai Konto, terus memperhatikan. Ketika posisiku sejajar dengan gerbang pabrik, aku melihat beberapa orang pribumi sedang menyiapkan sesuatu untuk acara hiburan. Sebuah panggung rendah didirikan didekat gerbang. Tahulah aku kini, hiruk-pikuk yang terjadi pagi ini adalah persiapan pesta giling yang mengundang tamu-tamu istimewa dan hanya untuk pekerja pabrik saja, orang luar dilarang keras masuk pabrik. Aku memang sudah mendengar kabar angin tentang pergelaran pesta giling, berupa hiburan seni tayub dan wayang semalam suntuk. Baru kali ini pesta giling dihelat besar-besaran disini.
Aku masih melangkah pelan untuk mencari lokasi strategis, berdiri agak tersembunyi dibalik kedua sapiku, dan memata-matai.
“jadi, mereka menginspeksi pabrik?” tanya Saridin petang itu. Kami berdiri dipekaranganku, mengamati keramaian yang sedang berlangsung di Pabrik Cukir yang hanya berjarak dua ratus meter dari rumahku.
Saridin adalah sahabatku yang tinggal di Dusun Nglaban, yang juga salah satu orang kepercayaanku. Dialah yang biasanya menyampaikan berita-berita hangat yang didapatnya dari pasar dan orang-orang desa padaku. Namun belakangan ini aku merasa dia lebih banyak membawa berita buruk ketimbang berita menyenangkan.
“Ya,” jawabku. “Tapi tidak lama, karena acara buka giling dimulai sebelum jam makan siang tadi.”
“Hm,” guman Saridin. “Makde sempat lihat?”
“Oh, ya,” kataku sambil mengelus dagu. “Ada arak-arakan patung manten Loro Blonyo, untuk wadal persembahan diisi darah sapi, yang kemudian digiling. Wiro yang memimpin upacara itu.”
Wiro adalah dukun desa, yang diangkat sebagai dukun kepercayaan oleh administrateur Pabrik Cukir. Ketangkasan Wiro dalam membaca keinginan pemerintah Hindia-Belanda membuatnya berhasil meraih kedudukan penting dalam lingkaran pabrik gula.
Saridin menganguk-angguk. “Belanda memang cerdas memilih orang.”
“Dan kau tahu perempuan yang sering digunjingkan itu?” tanyaku. “Sartini? Dia yang memimpin kelompok penari tayub.”
Saridin tertawa kering. “Dimana ada Wiro, disitu ada Sartini.”
Aku mendengar perempuan itu dibicarakan dipasar bahkan dibilik rumahku, saat orang-orang datang untuk kuobati karena digigit ular atau binatang berbisa lain. Dari orang-orang itulah aku sering mendengarcerita tentang Sartini, namun baru tadi pagi aku melihat perempuan itu dari dekat. Seperti kata orang, perempuan itu memang cantik menawan.
Samar-samar terdengar alunan gamelan wayang yang mengalun tertiup angin timur dari dalam Pabrik Cukir. Aku dan Saridin menatap kesana, setengah menerawang, menyesali apa yang terjadi pada desa kami yang tadinya tentram. Demi meraih ambisi sebagai penguasa gula dunia, Belanda tidak main-main dengan persiapannya ketika mendirikan Pbrik Cukir. Dari beberapa orang yang bekerja di pabrik, aku mendengar bahwa fasilitas yang berdiri di lahan seluas lima puluh hektar lebih ini dibangun dengan peralatan paling modern dan lengkap, karena hasil produksinya diharapkan menjadi penyumbang gula pasir terbaik dengan sakala besar di dunia. Insinyur-insinyur pelaksanaannya membangun dengan perhitungan dan perencanaan yang matang. Rancangan bangunan pabrik terintegrasi sangat rapih, infrastrukturnya pun diperhitungkan dengan cermat. Ada emplacement tebu atau terminal lori untuk menampung batang-batang tebu sebelum masuk mesin penggiling; gedung-gedung besar yang tertata rapi berjajar menaungi mesin itu yang selanjutnya tersambung dengan jajaran ketel penanak sari tebu, masuk ke stasiun pemurnian, penggodokan, pemutaran dan akhirnya gula yang sudah masuk karung dikirim ke gudang-gudang dan siap diedarkan.
Sarana pengangkutan bahan baku untuk pabrik gula ini sebagian besar menggunakan lori yang setiap hari hilir mudik mengangkut tebu dari lahan bekas sawah yang luasnya berhektar-hektar, yang merupakan tulang punggung Pabrik Cukir. Perubahan fungsi lahan sawah menjadi kebun tebu adalah hal vital untuk mencapai tujuan pemerinah Belanda. Orang-orang kulit putih itu sama sekali tidak peduli bahwa perbuatan mereka mengakibatkan hilangnya lahan yang menjadi hak rakyat. Demi program pemerintah Belanda, orang-orang pribumi harus merelakan tanah yang selama ini menjadi sandaran hidup keluarga.
Seusai perang di Ponegoro yang membawa kebangkrutan bagi VOC, pemerintah yang diwakili Engelbertus de Waal memberlakukan undang-undang Agraria 1870 (Agrarische Weet 1870) dan undang-undang gula 1870 (Suiker Weet 1870). Lahirnya undang-undang ini memberi kesempatan kepada swasta (asing Eropa) membuka usaha perkebunan di Oost Indie atau Hindia Belanda, memberi peluang kepada modal asing untuk menyewa tanah untuk Hindia Belanda dan membuka kesempatan kerja kepada penduduk menjadi  buruh perkebunan.
Pabrik memiliki perusahaan Belanda yang bernama NV. KOLDY EN COSTER VAN HOUSF SUIKER FABRIC ini tidak hanya andal membangun sarana Pabrik Cukir, dengan dibantu aparat keamanan Belanda, mereka bahkan membuat perencanaan dan perhitungan matang dalam merekrut pekerja pabrik yang dipilih sesuai kehendak dan kebutuhan mereka. Secara bergelombang para pekerja pabrik itu didatangkan dari berbagai daerah, termasuk dari negeri Belanda. Mulai dari sinder tebang, masinis pabrik, dokter gula, pekerja besali (bengkel), menjaga gudang, hingga satuan pengaman; semua dipilih dan diatur oleh administrateur pabrik.
Khusus untuk satuan pengaman, Belanda memiliki politik kotor dengan cara mengangkat para preman dan mantan preman dari Cukir dan sekitarnya. Satuan pengaman yang kuata menjadi faktor penting bagi kesuksesan dan keamanan pabrik. Mereka dicetak menjadi orang-orang yang loyal dan kejam, bahkan kepada sesama bangsa sendiri. Sampah masyarakat itu di bina dengan pendidikan dan bimbingan khusus agar menjadi kepanjangan tangan aparat Belanda, yang akan tunduk dan melaksanakan kehendak mereka. Cara berpikir orang-orang binaan itu pun dibuat menjadi tidak sehat; dari yang seharusnya lebih peduli terhadap tanah tumpah darah, kini justru menghianati bangsa sendiri. Pangkat dan kedudukan telah membuat mereka silau.
Perkembangan tempat hiburan di utara Pabrik Cukir berjalan begitu pesat, laksana penyakit menular yang lekas menyebar, tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Setiap malam di ramaikan hiruk-pikuk para pencari hiburan dan pemuas nafsu birahi. Masyarakat sekitar menjadi rasah, namun tidak berani melakukan apa-apa karena kekejaman aparat Belanda dan kaki tangan mereka membungkam protes penduduk.
        Namun tidak begitu halnya bagi Surontanu, sosok santri senior dari Pesantren Sumoyono, yang berani menentang berdirinya lokasi pelacur di utara pabrik secara terang-terangan. Jiwa laki-laki sejatinya merasa terpanggil untuk menjadi tokoh utama sekaligus pemimpin masyarakat yang menolak keras berdirinya tempat hiburan maksiat. Bagi Surontanu yang setiap harinya sibuk dengan kegiatan belajar dan mengajar di pesantren, berdirinya pabrik gula dan komplek pelacuran yang di dukung Belanda adalah kejahatan yang semena-mena. Timbul niat di hatinya untuk melawan.
        Niat itu menguat setelah melihat keangkuhan aparat keamanan dan mandor-mandor pabrik yang sering melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap penduduk asli. Begitu juga dengan sikap dan perilaku tidak terpuji Belanda dan para begundalnya yang semakin hari dirasakan semakin menjijikan dan membakar emosi. Surontanu dan kawan-kawannya menilai bahwa pembangunan pabrik menjadi biang keladi, tidak bermanfaat bagi warga sekitar, bahkan secara pasti membawa dampak kemerosotan moral bagi penduduk desa yang diseret jatuh ke jurang maksiat dan khurofat.
        Keresahan tergambar dari ucapannya ketika dia dan lima santrinya datang menemuiku, tepat pada saat aku sedang berdiri setelah memperhatikan hiruk-pikuk di Pabrik Cukir.
        “ Assalamu’alaikum ! ”
        Salam itu mengejutkanku. Aku tidak tahu bagaimana kyai muda yang satu ini tiba-tiba sudah berada di depanku.
        “ Wa’alaikum salam, Pak kyai,” jawabku sambil menutupi rasa kaget.
        “ Kemarin Makde tidak ikut bergabung di acara peresmian pabrik?”
        “ Ah enggak. Lha wong tidak di undang, itu kan acara khusus mereka. Haram hukumnya kita mendatangi acara dimana kita tidak di undang,”
        Kemudian tanganku menunjuk ke arah pohon beringin lima belas langkah di sebelah kananku. Rombongan tamuku itu tanggap bahwa aku mempersilakan mereka ke tempat yang lebih nyaman untuk kusambut. Kami pun beriringan melangkah ke tempat yang lebih rindang di bawah pohon beringin di barat Sungai Konto.
        Sejenak sepi menghinggap. Angin berdesir mengiringi langkah para tamu yang sengaja datang membawa berita yang entah baik atau buruk. Tetapi paling tidak setengah dari pertanyaan sudah terjawab dengan datangnya sang kyai muda dari Pondok Pesantren Sumoyono ini. Dan ini bukanlah yang pertama kali.
        Tidak sulit bagiku untuk menebak. Kyai satu ini sengaja dating untuk membicarakan penolakannya terhadap pembangunan pabrik. Mungkin karena kedudukanku sebagai salah seorang yang di tuakan masyarakat sekitar desa ini. Atau bisa juga karena adanya keseganan para centeng Belanda atau orang-orang Joko Tulus dan Wiro terhadapku.
        Basa-basi ringan yang mengawali percakapan kami tidak berlangsung lama. Setelah itu Surontanu mulai menumpahkan curahan hati tentang ketidak setujuannya terhadap pembangunan Pabrik Cukir.
        “ Revolusi industri ini menimbulkan dampak negative, Makde,” katanya memulai . “Rakyat sudah kehilangan lahan mereka, ditambah lagi dengan pendatang-pendatang yang merebut pekerjaan. Makde lihat saja sudah berapa luas sawah milik Kyai Sumoyono dirampas Belanda untuk di jadikan lokasi pabrik. Tapi yang paing berbahaya adalah munculnya tempat hiburan dan pelacuran, karena kehilangan akhlak dan moral jauh lebih buruk daripada kehilangan harta atau sawah.”
        Aku mengangguk-angguk setuju.
        “ Pemerintah Belanda memanfaatkan undang-undang baru untuk memerah tenaga dan kekayaan rakyat,” lanju Surontanu. “Mereka hanya mengumbar kebohongan dengan mengatakan system ini bakal menghapuskan cultuurstelsel  . Tapi apa yang terjadi? Makde lihat sendiri, rakyat harus menyerahkan lahan mereka, secara paksa, dengan dalil sewabah !”
        “Aku tahu,” kataku, berusaha menyebarkannya dengan suaraku yang rendah dan tenang. Namun kya muda itu sedang emosi.
        “Belum lagi masalah perekrutan preman,” sambung Surontanu.
        “Ya, benar sekali, Makde,” sahut salah satu santrinya. “Ini masalah serius.”
        “perekrutan preman-preman ini hanyalah alat politik untuk mengadu domba sesama  pribumi,” lanjut Surontanu. “Supaya tak ada yang menghalangi rencana Belanda mendirikan pabrik. Mereka diberi kebebasan untuk menangkap siapa saja yang tidak disukai Belanda, bahkan dibiarkan membunuh ! Budaya jaga baya ini meluas, Makde, bukan hanya untuk mengamankan pabrik gula, tapi juga mengamankan daerah maksiat.”
        “Aku bisa melihat sendiri, Kyai,” kataku. “Dan mereka inilah yang hendak kalian lawan?”
        “Saya tidak takut pada mereka, Makde,” kata Surontanu. “Mereka Cuma orang-orang yang merasa seperti jagoan, mencari uang cepat dan mudah.”
        “Meski demikian,” kataku, “mereka tetap harus diperhitungkan. Kalian tahu sendiri siapa yang memimpin mereka.” Aku berhenti sejenak karena Surontanu mendengus keras. “Wiro.” Lanjutku sambil mengguncang-guncang jari telunjuk, “dia mampu mengambil hati Belanda. Masyarakat yang belum kenal agama sangat memercayainya. Kalian tahu sendiri, setiap kali ada yang sakit, atau hendak mengawali masa tanam, mereka bergantungg pada dukun itu. Wiro dan Belanda sengaja mempertontonkan upacara pengusiran makhluk halus dan sebagaainya di pabrik, agar penduduk semakin percaya pada omongan kosong si dukun. Penduduk bakal takut untuk melawan. Aku sendiri tidak yakin Belanda percaya tahayul, itu Cuma strategi mereka untuk mengambil hati penduduk. Maka, menurutku, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengupayakan agar masyarakat berpaling dari kepercayaan syirik itu.”
        “Butuh waktu terlalu lama untuk melakukan itu, Makde,” bantah salah satu santrinya Surontanu.
        “Benar,” kata Surontanu. “kita tidak punya banyak waktu. Semakin hari semakin banyak pendatang, dan semakin ramai pula pusat hiburan maksiat. Baru kemarin saya lihat ada rombongan penari kentrung datang untuk menetap. Ditambah lagi gadis-gadis muda belia yang ternyata di perjual belikan untuk melacur. Sampai kapan kita hendak membiarkan keadaan seperti ini ? semakin rusak moral rakyat, semakin mudah di peralat dan dicocok hidung oleh Belanda.”
        Tentu saja aku sangat memahami keresahannya. Tetapi ada beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan. Di satu sisi, apa yang di katakana Surontanu ada benarnya, namun disisi lain bagaimana cara mematahkan rencana awal Belanda membangun pabrik? Pertimbangan kedua inilah yang menurutku nyaris mustahil, mengingat kami akan berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar.
        Aku kenal Surontanu, dia bertabiat keras. Tindakannya sering kali bersinggungan dengan pihak lain yang tidak sepaham. Sikapnya yang kereas menolak praktik perdukunan dan segala ritual tradisional lainnya oleh sebagian masyarakat dianggap tidak santun dalam menyiarkan kebenaran. Penampilan dan caranya yang blak-blakan menyebabkan rasa kurang simpati diantara sebagian masyarakat. Mereka menilai Surontanu kurang ‘njawani’ dan terlalu keras kepala. Sikapnya cenderung memaksa kehendak. Dengan wataknya yang keras, dia ingin selalu mendominasi setiap masalah atau persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
        Karena cara bergaul dan sikapnya yang keras dalam berdakwah itulah maka upaya berjuang menolak pembangunan pabrik tidak lantas diikuti dan didukung orang banyak. Dia lupa bahwa untuk  mencapai tujuan, dia perlu merangkul penduduk desa agar mendukungnya. Aku pernah mengingatkannya beberapa waktu yang lalu. Tapi agaknya saranku itu tidak begitu dipedulikannya. Karena sikap dan wataknya yang demikian keras dan kaku, masyarakat Cukir dan sekitarnya menjulukinya sebagai ‘ menungso ndas macan’  atau manusia berkepala harimau.
        Sebagian masyarakat memandang sinis niat Surontanu. Mereka menilai asa muatan dendam dalam tindaknnya karena kawan seperguruannya yang sekaligus murid kesayangan Kyai Sumoyono sekarang telah murtad dan bergabung dengan kelompok Wiro dan Joyo Rumpon. Dia adalah Joko Tulus yang dikenal sakti dan memiliki wibawa kuat. Menurut kabar terakhir, laki-laki itu ditasbihkan sebagai pemimpin gerombolan bergundal di Kebo Ireng. Belakangan Joko Tulus menyulap kawasan Kebo Ireng yang beranjak sangat dekat dari Pesantren Sumoyono menajdi daerah industry pelacuran yang berkembang dan ramai dalam waktu yang amat singkat. Kelakuannya membuat malu Surontanu dan keluarga besar pondok pesantrennya.
        “Jadi sebenarnya siapa yang hendak kalian lawan?” tanyaku. “Pemerintah Belanda atau Joko Tulus? Apa yang hendak kalian lakukan agar orang tidak meragukan motivasi kalian?”
        Surontanu terdiam sejenak, kelima santrinya saling berpandangan. Aku tahu pertanyaanku telak mengenai sasaran.
        “Karena pabrik itulah maka berdiri kawasan maksiat, Makde,” akhirnya Surontanu menjawab. “Keduanya tidak bisa dipisahkan. Motivasi kami jelas. Saya tidak peduli siapa yang membangun lokasi peacuran, saya hanya ingin daerah itu dibubarkan. Dengan cara apapun dan bagaimana pun risikonya, termasuk jika saya harus berhadapan dengan bedil atau penjara pemerintah Belanda. Untuk itu, pembangunan pabrik harus dihentikan lebih dahulu. Dengan dalil amar ma’ruf nahi mungkar, maka kami menganggap ini sebagai jihad fiisabilillah untuk memerangi kemungkaran dan kemaksiatan.”
        Aku bersimpati dengan keprihatinan Surontanu dan keresahannya membuatku ingin membantunya. Tetapi cara yang akan ditempuhnya tidak sesuai dengan hati kecilku, karena seingatku, berdasarkan pengalaman, belum ada contoh sukses perjuangan yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan untuk menolak atau melawan sesuatau yang tidak kita sukai.
        “Aku sependapat denganmu, Kyai Surontanu,” kucoba lagi membujuknya, “tapi apakah itu cara satu-satunya untuk menghentikan kegiatan maksiat di desa kita ini?”
        “Menurut saya itulah jalan terbaik, Makde! Belanda tidak bisa diajak berunding untuk menyelamatkan akhlak, mental dan moral bangsa kita,” katanya berapi-api.
        “Aku tahu. Tapi kekuatan mereka sangat besar, apalagi dibantu orang-orang kita yang berkhianat.”
        “Itulah sebabnya kita harus bersatu untuk menghadapi mereka!” Dada Surontanu naik turun menahan emosi. “Orang-orang yang berkhianat itu juga harus kita lenyapkan dari muka bumi!”
        “Kau betul. Kita memang harus bersatu, tapi aku melihat persatuan yang kau bangun baru sebatas raganya saja.”
        Surontanu terdim sejenak sebelum berkata, “Maksud Makde?”
        “Kau juga harus membangun jiwanya. Bukan hanya raga! Galang persatuan dan kesatuan masyarakat desa ini. Ambil hati mereka. Berikan pemahaman bahwa kegiatan maksiat tidak baik bagi kita, di dunia maupun akhirat!”
        “Tanpa saya berikan pemahaman seperti itu pun mereka semestinya sudah tahu, Makde!” Surontanu mengendus.
        “Kau tidak bisa menyamaratakan seperti tiu. Tidak semua orang mempunyai kemampuan berpikir yang sama. Tadi sudah kukatakan bahwa mereka masih saja percaya omongan Wiro.”
        Sang kyai muda menggeleng-geleng. “waktu sudah mendesak. Belanda sudah merusak moral kita terlalu lama.”
        “Kau terlalu buru-buru membuat rencana untuk melaksanakan niatmu yang sebenarnya sangat mulia itu. Hanya saja….”
        “Apakah Makde mau bergabung dengan kami?” potongnya sedikit mendesak.
        “Aku tidak mau menyesuaikan irama dengan cara kerjamu yang buru-buru.  Aku khawatir nanti akan mengecewakanmu.” Dengan cara yang sangat halus aku menolaknya, tetapi dengan setengah memaksa Surontanu tetap mendesakku ikut terlibat dengan gerakan yang sudah direncanakannya.
        “Tidak semudah itu. Perang bukanlah satu-satunya jalan keluar. Butuh persiapan matang, tidak bisa grasa-grusu tanpa perhitungan,” ucapku setengah berbisik. Aku khawatir  angin yang bertiup siang ini mengantarkan suaraku kepada orang-orang yang tidak menyukaiku atau Surontanu.
        Laki-laki yang sedang terbakar amarah di depanku itu terdiam. Seakan menunggu ucapan apa lagi yang akan kusampaikan kepadanya. Tiba-tiba aing bertiup kencang di atas kami. Sebutir buah beringin jatuh tepat di depan Surontanu. Laki-laki itu memungutnya lalu memutar-mutar buah itu diantara dua jemari.
        “Sebelum melakukan hal yang menurutku sangat serius, apaka kalian sudah punya strategi terbaik? Bagaimana dengan dukungan masyarakat dan pasukan yang akan diterjunkan? Bagaimana dengan logistik? Kalau Cuma modal semangat,rasanya tidak cukup.”
        Tiga orang santri di sebelah Surontanu beringsut agar lebih dekat denganku. Tampaknya mereka mulai tertarik dengan ucapanku sehingga ingin mendengar lebih jelas lagi. Pinggangku terasa pegal. Aku harus menggeser dudukku dua jengkal ke kiri untuk mencari permukaan akar beringin yang lebih rata. Sementara Surontanu diam terpaku, menatap air yang bening mengalir tenang di Sungai Konto. Namun wajahnya masih tampak kusut. Sesekali matanya melirik buah beringin yang masih saja di putar-putar di ujung jarinya.
        “Kisah Perang Diponegoro yang masih hangat dalam ingatan bisa menjadi sebuah contoh yang dapat kita ambil pelajarannya. Perjuangan itu mengingatkan kita bahwa gerakan yang hanya mengandalkan kekerasan pasti mengalami kegagalan. Pengalaman sudah membuktikan,” ucapku kembali mengingatkan bahwa cara kekerasan yang akan dipakai Surontanu menghadapi pembangunan pabrik gula bukanlah jalan terbaik.
        Seorang tokoh berkharisma kuat dalam meraih simpati dan fanatisme seperti Pangeran Diponegoro pun ternyata tidak cukup. Walaupun seluruh masyarakat Jawa dari segala lapisan bahu-membahu mendukung perang yang di kobarkan oleh junjungan mereka,perlawanan Pangeran Diponegoro hanya berumur lima tahu, yaitu pada puncaknya yang berlangsung tahun 1825 sampai 1830.
        “Jadi, mohon maaf. Aku tidak bisa terlibat dalam hal yang kalian sebut sebagai amar ma’ruf nahi mungkar  itu. Aku punya jalan dan pemikiran sendiri  untuk membuat desa ini menjadi lebih baik.” Bagiku apa yang kusampaikan sudah cukup jelas. Kalimat terakhirku ini membuat wajah Surontanu memerah. Kulihat jari telunjuk dan tengahnya memencet buah beringin hingga hancur berair.
        Tidak lama setelah ucapanku berakhir, rombongan tamuku langsung berdiri. Surontanu diikuti lima anak buahnya, beranjak dari tempat duduk masing-masing, bersiap untuk pamit meninggalkan pertemuan.
        “Kalau begitu, sikap kita jelas berbeda. Saya menghargai sikap Panjenengan, namun niat saya tetep teguh.  Saya akan berjuang demi li’ilah likalimatillah . Mohon restunya. Assalamu’alaikum,” ujar Surontanu tanpa menunggu jawaban. Secepatnya dia bersalaman dan mencium tanganku, setelah itu pergi menuju selatan.
        Setelah pertemuan itu aku sudah bisa menduga peristiwa apa yang bakal kudengar sehubungan dengan pernyataan dan keputusan Surontanu beberapa saat yang lalu. Hari-hari ke depan sudah dapat dibayangkan; bakal terjadi gerilya Surontanu yang bisa saja berupa terror, kekacauan, atau huru-hara di sekitar pabrikgula. Aku tidak tahu.
        Gerakan Surontanu merupakan salah satu wujud protes yang mewakili rakyat kecil, akibat sesuatu yang mengusik, baik kenyamanan dalam kehidupan atau pelanggaran atas nilai-nilai keagamaan. Namun kekuatan yang dihadapi Surontanu sangat besar. Apalagi yang dihadapi adalah penguasa yang selalu merasa benar dan tidak pernah menganggap adanya kehidupan yang lain di luar kepentingan mereka sendiri.
        “Ahh... Andai saja Surontanu mampu mengambil hati dan merangkul masyarakat desa terlebih dahulu, pasti dia bisa menjadi penghalang yang sangat berbahaya bagi Belanda.” Aku bangkit dari akar beringin besar yang menjadi tempat dudukku. Kulangkahkan kaki perlahan sambil kuinget kembali semua percakapan dengan Surontanu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar