Sejarah
Kampung Kresek
Kresek
adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, Indonesia.
Kecamatan ini dilalui oleh jalan Tol Jakarta Merak, tepatnya di Deasa Koper.
Sejarah Penamaan Kampung Kresek
Dari bermacam sumber ada tiga riwayat
lisan yang menjadi sejarah penamaan Daerah kresek. Yang pertama: bahwa Kresek
adalah nama orang, hal ini di kaitkan dengan nama seseorang yang dikubur di
Gili Duhur, belakang Kantor kecamatan Kresek yang di kenal dengan nama Ki
buyut Kresek. Yang kedua: Kresek adalah nama pohon yang diberi nama dengan nama
pohon Kresek, dahulu kala ada pohon kresek yang begitu besar di Kresek. Yang
ketiga: Kresek adalah nama alat untuk mewadahi sesuatu karena dulu banyak para
ulama dan bangsawan yang mengasingkan diri ke daerah kresek ketika terajdi
kekacauan politik di kraton surasowan Banten.
Letak geografis
Secara geografis, Kecamatan
Kresek berada di ujung barat sebelah utara dari Kabupaten Tangerang. Wilayahnya
berbatasan dengan kecamatan Sukamulya di sebelah timur, Gunung Kaler (pemekaran
kecamatan Kresek) sebelah Utara. Sedangkan sungai Cidurian di sebelah barat
menjadi batas antara Kresek dan kecamatan Binuang yang masuk wilayah Serang.
Bahasa yang
Digunakan
Masyarakat Kresek khususnya ibu
Kota kecamatan kresek, yakni Desa Kresek, dan sekitarnya menggunakan bahasa
Jawa-Banten dalam keseharian. Bahasa Jawa-Banten ini berkembang selain karena
letaknya dengan ibu kota kesultanan Banten pada zaman dahulu yang begitu dekat,
juga karena memang sebagian masyarakat Kresek adalah keturunan bangsawan kraton
Surasowan Banten.
Asal-Usul Masyarakat Kresek
Masyarakat Kresek diperkirakan
telah menjadi suatu komunitas penduduk tetap pada awal permulaan
berdirinya kesultanan Banten, sama dengan daerah Banten utara lainnya seperti:
Tirtayasa, Pontang, Tanara, Kronjo dan Mauk. Paling tidak beberapa tahun
setelah daerah-daerah tersebut. Hal yang demikian itu bila jika benar bahwa
Pangeran Jaga Lautan bin Maulana hasanuddin tinggal dan menetap di sekitar
kawasan Pulo cangkir seperti letak makamnya saat ini.
Ada juga yang mengatakan bahwa
walau makam P. jaga lautan terletak di pulo Cangkir tetapi rumah kediamannya
terdapat di cakung bersama dengan anaknya yaitu Raden kenyep yang merupakan
Bapak moyang dari masyarakat Kresek. Jika ini benar, maka masyarakat Kresek
lebih tua dari daerah sekitarnya.
Raden Kenyep mempunyai anak
yaitu: Ciliwulung, Ciliwangsa, Ciliglebeg, Cilimede, Cilibadrin, Cilimandira,
Cilibayun, Cilikored, Cilijohar, dan Cilibred. Dari sekian anak-anak Raden
kenyep, hanya keturunan Syekh Ciliwulung yang dicatat rapih oleh para
keturunannya. Syekh ciliwulung inilah yang menurunkan keturunan yang sekarang
sebagian besar tinggal di Kresek dan sekitarnya.
Syekh Ciliwulung mempunyai anak
yaitu Syekh Cinding, syekh Sauddin, syekh syuaib dan Ratu Fatimah. Kemudian Ratu
Fatimah menikah dengan cucu sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir yang
bernama Raden Mahmud bin Pangeran Soleh pada masa pemerintahan sultan Maulana
Manshur Abunnashar Abdul Kohar (1683-1687) atau yang dikenal dengan
sultan Haji.
Dari pernikahan ini mempunyai
putra bernama Raden Hasan Bashri yang kemudian menjadi ulama besar yang tinggal
di Cakung (kurang lebih satu kilometer dari Kresek) dikenal dengan nama syekh
Hasan Bashri. Kuburannya sekarang ramai di ziarahi orang.
Syekh Hasan Bashri mempunyai
empat orang anak yaitu Syekh Ibrohim di Cakung, syekh hasan Mustofa di
palembang, dan nyai Ratu syarifah di tirtayasa.
Syekh Ibrohim mempunyai anak
Syekh Abdullah yang dikenal dengan nama Ki Bulus. Syekh Abdullah menikahkan
anaknya yang bernama Syekh Alim dengan Nyai Ratu hadisah cicit Sultan maulana
Mansur. Ayah nyai ratu hadisah adalah Raden Nururrohim bin Pangeran Abdul Muid
bin sultan Maulana Mansur Abunnashar Abdul Kohar.
Syekh Alim adalah seorang ulama
besar yang mempunyai pesantren di daerah Kresek. Ia mempunyai anak Syekh Bendo
atau syekh Murtadho, nyai Ratu Antimah, Nyai ratu Darwinah dan nyai ratu
Aminah.
Dari Syekh Alim inilah banyak
menurunkan para ulama yang sekarang ada di Kresek dan sekitarnya. Selain dari
keturunan Syekh ciliwulung dan syekh Hasan Bashri, masyarakat Kresek juga
terbentuk dari dibukanya perkampungan-perkampungan baru oleh Sultan agung
tirtayasa.
Sultan Agung Tirtayasa
Membangun Kampung-Kampung di Tanara-Kresek pada tahun 1659. Sultan Agung
Tirtayasa berencana membangun terusan dari sungai cidurian ke sungai cisadane.
Sungai Cidurian adalah sungai yang melewati Jayanti, Kresek, Gunung kaler dan
Tanara. Akhirnya proyek ini dimulai pada tanggal 27 April 1663. Terusan ini
menghubungkan sungai cidurian ke sungai Pasilian, yang juga dinamakan
Cimanceuri, melewati Balaraja sepanjang enam kilometer.
Pada tanggal 9 September 1663,
sultan Agung Tirtayasa berangkat ke Tanara melalui laut dengan 150 kapal dan
mengangkut limaribu orang laki-laki. Selain membuat terusan, sultan Agung juga
membuat lahan persawahan baru yang membentang disekitar terusan. Dalam
pembangunan itu sultan Agung membuat pesanggrahan untuk tetap tinggal di lokasi
selama pembangunan. Diberitakan dalam tulisan berbahasa belanda dengan judul“La
politique vivriere de Sultan Ageng’ yang pertama kali diterbitkan oleh
majalah Archipel pada tahun 1995, bahwa rumah sultan itu berada di
‘pegunungan’ Tanara. Atau tempat yang agak tinggi struktur tanahnya di sekitar
Tanara. Diperkirakan lokasi tempat rumah itu di Gunung Kaler, pertengahan
antara Tanara-Kresek.
Persawahan yang dibangun sultan
Agung itu membentang datar dari mulai Sawah luhur sampai Pontang, dari Pontang
sampai Lempuyang, dari Lempuyang sampai Tersaba, dari Tersaba sampai
Carenang, dari Carenang sampai Cikande, dari Tanara sampai Kresek, dari Kresek
sampai Balaraja, dari Balaraja sampai Mauk, dari Mauk kembali sampai Kronjo. Di
lokasi persawahan itu, Sultan Agung membuat desa-desa baru sebagai komunitas
penduduk ‘Jawa-Banten’. Perpindahan penduduk dari ibu Kota Surosowan itu tidak
hanya terbatas di daerah yang disebutkan di atas, Sultan juga membuat desa-desa
baru di sepanjang sungai cisadane-Tangerang. Berbeda dengan daerah sebelumnya,
penduduk baru ini diwajibkan menanam kelapa di sepanjang perbatasan dengan
Batavia. Hal ini selain untuk kepentingan pangan, juga sebagai tantangan kepada
musuh bebuyutan sultan agung yaitu pemerintah VOC di Batavia akan keseriusan
Sultan Agung dalam sikapnya menentang segala macam monopoli yang dijalankan
VOC.
VOC menganggap kampung-kampung
baru yang di buat Sultan Agung ini sebagai politik kelas tinggi dari seorang
raja yang cerdik. Bukan hanya mengakibatkan Banten menjadi Negara yang mandiri
secara pangan, tapi juga membuat Kraton Surasowan tidak bisa di serang secara
langsung oleh musuh, karena sebelum sampai ke kraton musuh harus berhadapan
dengan penduduk-penduduk ‘Jawa’ yang setia kepada sultan. Dalam sensus tahun
1659 penduduk ‘Jawa’ di ibu kota Kota Surasowan berjumlah 100.000,-
orang. Sedangkan yang berada di pemukiman baru sekitar 30.000,- orang.
Referensi: